Author : Pabo Namja
Cast : Byun BaekHyun, Kim JongIn
Type : One Shoot
Genre : Family
**
BaekHyun memiliki mimpi. BaekHyun pun yakin
dia memiliki bakat. Tapi, terkadang hanya sebentuk keyakinan tidak mampu untuk
menopang berdiri mimpi yang ia bangun.
BaekHyun tak jarang terjatuh.
Sekali lagi manusia hidup dengan keyakinan,
dan sekali lagi BaekHyun berdiri merajut kembali asanya, sebelum dia terjatuh
kembali, BaekHyun hanya bisa terpaku menatap gundukan mimpinya. Kembali
bertanya pada hati terdalamnya, ‘Bisakah kuatkan aku sekali
lagi…’
BaekHyun baru akan melangkah memasuki rumah
berwarna coklat dengan aksen dan fitur kayu mengelilingi bangunan yang sejak
satu tahun terakhir ini menjadi tempat BaekHyun berteduh, dia baru akan
melangkah. Namun kedua kaki berbalut kaus kaki putih itu berhenti, dalam
tegunannya BaekHyun terpaku pada pemandangan didalam sana.
“AMAZING…. ayah yakin kau pasti bisa Jongin-ah… Hebat
hebat…!!!” seorang lelaki berbalut kaus hitam dan celana Jeans
khaki bersuara lantang, suara yang terdengar jelas penuh dengan
rasa bangga dan sayang yang beratnya mungkin mencapai berat bumi ini.
Pujian yang lelaki itu tujukan pada anak
kesayangannya. Bocah lelaki yang umurnya terpaut dua tahun dengan BaekHyun.
Bocah lelaki yang sedang duduk disamping lelaki kaus hitam yang tak lain adalah
ayahnya, dia terlihat tersenyum cerah sembari terus mengacungkan jempol
tangannya.
“Hebat JongIn… kau anak yang berbakat ” timpal
suara lembut seorang perempuan yang duduk disebelah kanan si bocah. Perempuan
yang juga merupakan ibu tiri JongIn ikut mengacungkan dua jari untuk JongIn.
JongIn anak tirinya.
BaekHyun merasa enggan untuk masuk, dia
seperti menjadi lalat yang akan mengganggu hidangan mewah untuk disantap.
Bukan, dia sebenarnya bukan lalat. Dia bagian dari keluarga ini, dia anak dari
perempuan yang duduk disamping JongIn, dia kakak tiri dari jongIn dan tentu dia
anak tiri dari lelaki kaus hitam itu.
Ya.. BaekHyun bukan lalat.
BaekHyun melepas kaus kaki putihnya, dia
selipkan diantara lubang sneakers biru kesayangannya dan beranjak
meraih slipper bertuliskan ByunOne miliknya.
“Aku pulang…” suara BaekHyun dengan lantang,
satu guratan senyum tergambar di wajah putihnya.
“Eoh.. BaekHyun-ah… ” jawab si
perempuan, yang kini beranjak dari duduknya dan menghampiri baekhyun. Tentu,
karena dia ibu kandung Baekhyun, yang BaekHyun percaya akan lebih menyayangi
dirinya lebih dari siapapun, baik itu JongIn saudara tirinya yang penuh dengan
hal membanggakan.
“Bagimana audisimu???” tanya si lelaki Kaus
hitam.
Lidah BaekHyun kelu. Hati Baekhyun getir, dia
juga merasakan kedua tangannya bergetar. Dia hanya bisa berbisik bahwa dia juga
memiliki mimpi. “ Belum berhasil paman, aku belum beruntung ” jawab BaekHyun.
JongIn menatapnya, lelaki yang dia panggil
paman yang merupakan ayah tirinya juga menatapnya dan sang ibu pun tidak
terlewatkan. Tatapan yang berbeda arti. Dengan Jongin yang seakan menyerukan ‘Jangan
menyerah Hyung..’, tatapan sang ayah tiri yang tidak ingin Baekhyun
artikan. Dan tatapan sang ibu yang selalu menghangatkan hatinya.
“Tidak apa… masih banyak perusahaan yang
menanti suara emasmu sayang..” ucap sang ibu menangkan.
“Benar Hyung.. satu-dua kali gagal audisi
bukan hal aneh, kau akan menemukan yang terbaik suatu saat nanti..” sahut
JongIn.
“Ya… suatu saat nanti.. kapan itu BaekHyun… JongIn
sudah menemukan perusahaan yang akan mengasuhnya, aku menanti saat mu itu..”
“Iya.. paman…” jawab BaekHyun. BaekHyun ingin
menjawab lebih dari itu, ia ingin menjawab dengan semua rasa irinya, dengan
semua rasa lelahnya. Tapi apa daya.
BaekHyun memang bukan lalat.
Tapi didepan ayah tirinya, Baekhyun merasa
seperti lalat yang pantas untuk disingkirkan dengan satu tepukan.
“ibu, aku kekamar dulu,” ucap BaekHyun.
Dia melangkah setelah sang ibu mengusap lebut
ubun kepalanya, menuju kamar disudut lantai dua. Kamar tempatnya menumpahkan
semuanya. Asa, mimpi, marah, sedih, beban. Terkadang BaekHyun malas hanya untuk
sekedar membuka pintu kamar berwarna hitam itu, kamar itu sudah terlalu penuh,
BaekHyun merasa sesak.
Baekhyun menghempaskan tubuh dikasur empuk
miliknya. Sesaat BaekHyun menikmati perasaan terapung efek dari kasur empuknya
ini.
Terbang…
Ya.. andai dia bisa, ijinkan BaekHyun terbang
saat ini juga. Terbang menembus langit biru, berpijak dihamparan awan putih dan
bernyanyi bersama angin. Hey.. setidaknya saat ini juga BaekHyun bisa
melakukannya. Hal yang rutin BaekHyun lakukan, bernyanyi bersama angin
mengikuti melodi sang burung. Itu pelatihan terbaik.
Baru Baekhyun akan membuka jendela kamarnya
yang menghadap kelangit sore saat itu, dia mendengar lantunan merdu dari benda
kecil yang masih terperosok jauh dialam tasnya. Dengan satu tangan BaekHyun
meraih benda itu, mendapati benda kecil dengan layar LCD yang berkelap kelip.
Setelah membaca siapa yang menyebabkan deringan itu, Baekhyun menyapu layarnya
dan menempelkan benda itu di telinganya.
“Eoh… ada apa..??”
“YA…!! Kau dimana????” suara disebrang sana
terdengar berteriak. BaekHyun terkikik saat dia tahu, seseorang sedang
dilingkupi aura marah.
“Aku pulang,, maaf tidak bisa menungguimu
selesai. Bagaimana hasilnya??”
“Aku sudah menyuruhmu jangan dulu pulang
sebelum aku selesai, Bodoh..!!” Baekhyun melayangkan satu pertanyaan, tapi
orang disebrang sana tampaknya belum puas dengan jawaban BaekHyun.
“Maafkan aku Choi SooYoung… ibuku menelfon
untuk segera pulang, neneku dari Busan datang. Sekarang jawab pertanyaanku..”
“Eoh…. baiklah.. kau kumaafkan.” Terdengar
satu hembusan gusar dan guratan tawa diakhir kalimat. SooYoung memang bukan
teman terdekat BaekHyun, tapi benar kata orang yang selama ini dia dengar,
tidak ada kata marah untuk manusia seperti BaekHyun. Entahlah semacam ada
sihir. “Ah… BaekHyun-ah.. aku… AKU DITERIMA DI SM… ahh aku tidak
percaya BaekHyun-ah… minggu depan aku resmi menjadi Trainee disana
dan…”
BaekHyun masih disana. BaekHyun masih
mendengarkan SooYoung yang tengah berbagi kebahagiaannya. Ya.. dia bahagia,
setidaknya SooYoung telah melangkah dua langkah untuk mimpinya, meninggalkan
BaekHyun yang masih di titik start.
BaekHyun membuka jendela kamarnya, menatap
langit dihiasi burung – burung yang mulai kembali ke sarangnya. Masih
dengan handphone yang terbubung dengan SooYoung, baekHyun
bertanya pada dirinya ‘Mengapa orang lain begitu beruntung?? Dan kapan
giliranku…’ SooYoung berbakat, tapi apa baekHyun tidak berbakat?.
“jadi bagaimana hasilmu???” tanya
SooYoung setelah penjelasan panjang lebarnya.
“Ehm…” BaekHyun tertegun. Dia ragu untuk
menjawab. “Aku… aku gagal Soo… heheh…”
“Kau..? Gagal…” Hening. BaekHyun mengira
mungkin SooYoung bingung untuk menimpali seperti apa. Dan percakapan
selanjutnya bisa Baekhyun tebak kemana alurnya.
“Soo, aku harus turun untuk makan malam, kita
lanjut perbincanganmu besok ok..? mungkin aku harus berguru trik – trik audisi
padamu… Bye-”Tut.
BaekHyun meletakan ponsel dimeja belajarnya,
beralih dengan ransel hitam yang dia bawa ketempat audisi tadi. BaekHyun meraih
ranselnya dan mengeluarkan nametag putih bertuliskan ‘BaekHyun’.
BaekHyun meraih nametag itu menggantungkan lagi
dilehernya dan berdiri didepan cermin. Cermin yang memantulkan bayangan sosok
bocah lelaki, yang tersenyum, senyum untuk menyambut mimpinya yang tak kunjung
tiba.
“Huhft… aku lelah hanya menggunakanmu
diaudisi, kapan aku menggunakanmu divideo rehaersal yang akan
diserahkan ke program musik.. hahaha” kekeh BaekHyun sambil memadang cermin.
Satu ketukan pintu mengalihkan perhatian
BaekHyun.
“Siapa??”
“Aku Hyung…” sahut satu suara.
“Sebentar……”
BaekHyun segera melepas nametag yang
masih tergantung dilehernya, menjejalkan benda putih itu kembali ke ransel
hitam dan menggantungkan ransel hitam itu di samping lemari bajunya. Kenapa?
BaekHyun tidak ingin terlihat seperti orang yang putus asa.
.
.
.
“Hyung…. siapa orang terhebat di negeri ini
menurutmu…” Tanya JongIn, saat BaekHyun dan JongIn tengah terlentang di tempat
tidur kamar BaekHyun tanpa penerangan yang menampilkan bintang – bintang
plastik diatap kamar BaekHyun.
“Negara ini..?? terlalu banyak orang hebat
JongIn…” jawab Baekhyun pasti, dia bahkan belum sempat untuk memikirkan
pastinya. Ya.. karena begitu banyak orang hebat.
“Ehm,,, aku persempit. Disekolah kita…” tanya
JongIn lagi.
BaekHyun mengeluarkan gumaman sebelum menjawab
pertanyaan adik tirinya ini, dia menjatuhkan butir mata hitamnya pada satu
bintang plastik diatap kamarnya yang berkelip berwarna biru. “Disekolah
kita..??” tanya BaekHyun memastikan.
JongIn tidak menjawab, tapi BaekHyun bisa
merasakan dia menganggukkan kepalanya.
“Ehm…. Kelas tiga, Kris Wu. Dia belum lulus,
dia seangkatan denganku, tapi berhasil menjadi model, dengan manajemen ternama
yang menaunginya. Ah,,, Kim JongWoon, kau kenal dia? Di baru lulus dua tahun
yang lalu, seorang penanyi terkenal korea, kemudian ada… Im YoonAh, kau bisa
mudah menemukan dia diberbagai drama akhir – akhir ini…” Jawab BaekHyun. Kamar
ini memang gelap, jadi BaekHyun tidak tahu seperti apa ekspresi wajah JongIn
saat ini karena tidak sepatah katapun dia ucapkan.
“Itu menurutku, kau?” kembali tanya BaekHyun.
“Ehm… aku ingin menyebut pacarku Jessica, dia
cantik, suara bagus, pandai acting-”
“dan dia ice princess” potong
BaekHyun.
“Ahahah… aku tau itu Hyung,, tapi menurutku
sosok paling hebat adalah Murid kelas 3-B…’
“3-B? Kelasku, siapa? SooYoung maksudmu??”
“Bukan,,, tapi kau. Hyung Ku…” JongIn bangkit
dari tidurnya, bersila menghadap BaekHyun dengan wajahnya yang tidak bisa
dikatakan dia sedang bergurau.
BaekHyun merasa ini bukan waktu yang tepat
untuk mengatakan ‘hahaha kau bergurau JongIn’ Selalu ada alasan dan
bahasan serius saat JongIn berbagi cerita dengannya. Dia dan JongIn memang
terpaut status saudara tiri, tapi itu tidak pernah membatasi mereka untuk
saling menyayangi layaknya saudara kandung. Baekhyun ikut bangkit dari tidurnya
dan duduk besila mengikuti JongIn.
“Hyung, terkadang aku ingin saat Ayah secara
tidak langsung membandingkanmu denganku, aku ingin kau membentaknya atau
sekedar menumpahkan apa yang kau rasakan, aku merasa seperti saudara jahat saat
melihatmu hanya tersenyum dan berlalu..”
BaekHyun menyunggingkan segaris senyum. Dia
tahu JongIn tidak akan melihat itu, lagi pula ini bukan jawaban untuk
pertanyaan JongIn, tapi ini merupakan sentilan tawa untuk sifat menyedihkan
BaekHyun yang JongIn paparkan.
“JongIn-ah… apa menurutmu dengan aku
yang bisa menentang ayahmu dan meluapkan amarahku terlihat lebih baik?” Tanya
BaekHyun.
“Mungkin terdengar tidak begitu baik, jika
konteks ayah yang kau maksud bukan ayahku.” JongIn menghembuskan nafas, jarinya
bergerak – gerak membentuk bentukan abstrak yang terasa oleh BaekHyun.
“Sayangnya Hyung mendapat Ayah diluar konteks ayah pada umumnya,,” lanjut
JongIn.
“Aku tahu,,” jawab BaekHyun. “Aku bukan robot
JongIn, aku bisa merasakan dan melihat apa yang memang terjadi. Bolehkah aku
jujur padamu…”
BaekHyun melihat samar jongIn mengangguk.
JongIn juga mengubah posisi duduknya, sehingga dia duduk berhadapan dengan
kakaknya.
“Jujur, Aku sedikit kecewa saat ibu
mencarikanku Ayah yang… seperti ini..” Baekhyun ragu untuk mengatakannya, tapi
JongIn terlanjur mendengarnya. Jongin? BaekHyun melihat dia menatapnya dengan
manik hitamnya lekat pada wajah BaekHyun.
“Ayahku dulu, seorang yang sekecil apapun yang
kulakukan dia selalu memujiku, dia selalu berkata ‘BaekHyun-ah… hari ini kau
bisa melakukan sampai titik ini, besok lanjutkan dan capai titik lainnya.’
Kau tau Jongin? Itu seperti sebuah kekuatan bagiku…”
“Ayah juga sering mengatakan itu padaku,”
timpal JongIn dengan suara pelan.
“Aku tahu..” jawab BaekHyun tersenyum pada
adiknya, meski BaekHyun tahu JongIn tidak akan menangkap jelas senyum tulusnya.
“Ayahmu sangat bangga dan sayang padamu, seperti itulah kurang lebih yang dulu
aku rasakan..”
“Dan Ayahmu pun datang dalam hidupku…”
Baekhyun merangkul kedua kakiknya, pandangannya terbang jauh keluar sana, seakan
mencoba menangkap sosok Ayah yang dia miliki saat ini.
“Sosok Ayah yang mencambukmu secara halus
setiap saat, yang menghunusmu dengan pedang kasat mata tanpa kau sadari, Hyung
hanya akan merasa sakit dan merasa berdarah dengan Ayah disisi lain dengan pedang
tembus pandanganya tersenyum bangga padaku..”
“Hahaha….” Baekhyun tertawa mendengar
penuturan dramatis adik disampingnya. BaekHyun memperpendekat jarak duduknya
dengan JongIn dan mengelus sayang rambut adiknya. “Ayahmu tidak sejahat itu
JongIn…”
“jangan mengelak Hyung,, dia selalu dan Hanya
membanggakanku-”
“Karena kau anaknya….” potong BaekHyun yang
menghentikan kalimat JongIn seketika.
“Hyung…. kau pun anaknya sejak ayahku dan
Ibumu mengucap Janji..” lanjut JongIn ada sedikit emosi, yang tertekan dalam
kalimat itu.
BaekHyun menurunkan tangan dari kepala JongIn.
Tangan yang perlahan terkepal dengan BaekHyun yang menahan sesak didada dan
letupan kecil ditangannya. Benar, yang dikatakan JongIn Baekhyun akui
kebenarannnya. Bahwa dia juga anaknya.
“Maaf… aku mengambil garis seperti ini.” Ucap
BaekHyun. “Aku memiliki Ayah yang bisa dikatakan adalah sempurna untuku dan
kemudian tuhan mengambilnya, lalu tuhan memberiku Ayah baru yang benar – benar
baru. Hidup adil Jongin, dan tuhan adil.. setidaknya dia ingin membuatku
merasakan, ya… kasih sayang yang berbeda dari ayah yang berbeda..”
“Jadi kau menganggap perlakuan Ayah selama ini
bentuk kasih sayang??”
BaekHyun tertegun. Apa seperti ini kah bentuk
kasih sayang untuknya? Saat sang ayah memandangnya seakan BaekHyun hanyalah
bocah tidak ada apa – apanya, saat apapun yang BaekHyun capai tidak ada satu
ucapan bangga yang dialamatkan padanya. Apa BaekHyun bisa meneriman semua ini
sebagai bentuk kasih sayang?
“Untuk saat ini mungkin belum…” jawab BaekHyun
yang direspon dengusan sebal dari JongIn. “JongIn-ah,,, mengapa kau
berfikiran bahwa Ayahmu begitu jahat padaku? Disebelah mana kau melihat semua
ini begitu buruk?” lanjut BaeKhyun.
“Hyung… kau merasakannya sendiri..” jawab
JongIn.
“Yang aku rasakan hanya Ayahmu yang selalu
bangga padamu.. heheh” canda BaekHyun.
“Eiyyy… dan itu salah satunya.”
BaekHyun kembali membaringkan tubuhnya. Dia
menarik selimut yang sedari tadi Jongin gunakan untuk menggambar abstrak dengan
jarinya.
“Kau tidur disini malam ini??” tanya BaekHyun.
“Eoh… aku tidur denganmu Hyung….”
jawab JongIn, yang selanjutnya JongIn juga berebah dan ikut menyelundup kedalam
selimut BaekHyun menutupi sekujur tubuhnya.
“Hyung….. kau selalu menceritakan tentang
Ayahmu dulu,”
“Hmm…”
“Tentang ayahmu yang selalu membanggakanmu,
merangkulmu saat bersedih, membantumu membangun mimpi… Ayahmu tergambar dalam
otaku sangat sempurna..”
“Hmmm” jawab BaekHyun dengan suara bergetar.
BaekHyun merasakan sekujur tubuhnya memanas,
kondisi dimana dia merindukan sosok Ayahnya. Keadaan saat ini memang tidak
seperti kondisi BaekHyun dulu. Kondisi dimana saat BaekHyun terjatuh ada
sesosok pahlawan yang akan menghampiri untuk menyapu sembuh luka dengan
senyumnya. Sosok yang selalu mengacungkan jempol untuk BaekHyun, saat hal hebat
sekecil apapun BaekHyun lakukan.
Mengenang semua ini hanya membuat kamar ini
kembali penuh sesak. Ribuan aduan tentang seperti apa sosok ayahnya saat ini
memenuhi kantung udara BaekHyun. Sesak. Dia butuh Ayahnya. Dia sedang terjatuh,
dia butuh seseorang yang menghampirinya dengan senyum dan berkata ‘bukan apa
– apa BaekHyun-ah… kau masih bisa mencapainya…’
BaekHyun hanya akan menjadi siput bila seperti
ini terus. Selalu terkungkung dalam masa lalu yang terlalu manis yang mebuatnya
menjadi pesakitan menjalani hidup dengan rasa lain.
“Hyung….” suara JongIn yang Baekhyun rasa
begitu dekat.
“Eoh,…kenapa??” jawab BaekHyun dengan
suara sebiasa mungkin.
“Tidak, Kau hyungku yang paling hebat, semua
ini bukan apa – apa Hyung… mimpimu menantimu diujung jalan sana, tetaplah
bersemangat, kau pasti bisa Hyung… selamat malam…”
BaekHyun tidak ingin menangis. Tapi dia
merasakan kedua pipinya basah dan matanya terasa panas. Tuhan memang memberikan
rasa berbeda dalam hidupnya dengan kehadiran Ayah yang diluar keinginan
BaekHyun. Tapi Tuhan memberikan Baekhyun penawar rasa pahit dengan hadirnya
JongIn, sosok lain dari rasa manis.
“Selamat malam..” jawab BaekHyun sambil
mengusap air matanya.
“I Miss You Dad….” ucap BaekHyun dengan
suara kembali bergetar. BaekHyun memejamkan kedua matanya, dan berdoa untuk
Ayahnya, untuk dirinya, Ibunya, JongIn dan untuk kehidupan yang Baekhyun hadapi
saat ini.
END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar