‘When
Music Gone’
Author : Pabo Namja
Cast : Zhang
YiXing, Kim JongIn, Kim JoonMyeon
Type : One Shoot
Genre : Family, War, Adventure
Insipired From Taylor Switf song
‘Safe And Sound’ & K-Movie ‘Commitment’
**
I remember you said, “Don’t
leave me here alone”
But all that’s dead and gone and passed tonight
But all that’s dead and gone and passed tonight
Just close your eyes
The sun is going down
You’ll be alright
No one can hurt you now
Come morning light
You and I’ll be safe and sound
The sun is going down
You’ll be alright
No one can hurt you now
Come morning light
You and I’ll be safe and sound
***
17. Umur dimana seharusnya menikmati indahnya mengenal dunia
remaja. Dengan seragam sekolah, sepeda, dedaunan di musim gugur ataupun satu
pelukan hangat yang bisa membuat senyummu tersungging manis. Seharusnya seperti
itu memang.
Lay. Seorang anak lelaki berumur 17 tahun. Seharusnya dia bisa
menikmati semua rasa manisnya ‘Remaja’. Seperti kebanyakan mereka diluar sana.
Tapi takdir berkata lain. Dengan statusnya sebagai warga perbatasan, membuat
seluruh cerita alur hidup Lay berbeda dengan mereka. Menjalani kehidupan di
perbatasan antara dua negara yang saling berseteru, dengan pertikaian yang
sampai kapanpun di prediksi tidak akan berakhir. Saat mereka diluar sana setiap
hari bisa menikmati syahdunya melodi lagu tentang cinta, Lay harus menerima
kenyataan bahwa hanya teriakan, jeritan, suara peluru, ataupun suara manufer
pesawat tempur yang menemani harinya. Lay sendiri mengatakan semua itu sudah
seperti Lullaby untuknya.
Seperti itulah kehidupannya sebagai penduduk Agarn.
“Aku pergi untuk jam jaga. Tidurlah, jangan takut Ok..” Lay mengelus lembut
rambut merah adik satu – satunya. Kai.
Hidup dilingkungan perang dan tanpa ada orang tua mendampingi
sepertinya sudah menjadi takdir hidup yang harus diterima dua kakak beradik
ini.
“Kau tidak akan lama kan kak? Aku takut ada orang asing yang
masuk kerumah dan berteriak tidak jelas seperti kemarin pagi…”
Kai masih terlalu kecil. Selalu itu yang ada dalam benak Lay.
Umur Kai terpaut 7 tahun dengannya. Tapi dia sudah harus menerima takdir bahwa
hidup untuknya bukanlah sebuah kehidupan yang manis. Tidak ada yang namanya bermain untuk anak penduduk Agarn. Yang
ada anak kecil hanya diam dirumah bersembunyi, tidak membuat suara sekecil
apapun saat orang dewasa meninggalkan mereka dirumah. Mereka harus bisa
menyelematkan diri ketika ada orang asing yang tiba – tiba masuk kerumah. Saat
menginjak umur 15 tahun, mereka diwajibkan masuk kemiliteran untuk
mempertahankan keamanan.
Lay beranjak dari ranjang besi yang sekarang tengah diduduki
oleh Kai, berjalan kedalam rumah yang hanya diterangi lilin menuju satu laci
kusam disudut ruangan. Lay mengambil satu benda, berbentuk kotak yang kita
kenal dengan Music Box peninggalan orang tua mereka.
“Seperti pesanku juga pesan ayah dan ibu, kamu hanya perlu diam.
Sekarang berbaringlah, tutup matamu dan biarkan alunan lagu ini menemanimu.
Dan-”
“Tetaplah tidur menutup mata meski mereka masuk dan mempora-porandakan
rumah ini,” sambung Kai sebelum Lay menyelsaikan kalimatnya.
“Anak pintar,” Lay tersenyum membentuk dua titik dipipinya.
Lay menekan pelatuk pada kotak musik milik mereka. Kemudian
membaringkan Kai, menyelimutinya kemudian tidak lupa dia memberikan satu
kecupan selamat tidur.
“Hati – hati kak, aku akan terus menunggumu untuk menyuruhku
membuka mata,” kalimat ini sudah sering Kai ucapkan pada Lay setiap dia akan
pergi berjaga. Ada satu rasa bahagia setiap Lay mendengar kalimat itu, dengan
cara Kai mengucapkannya dengan mata berkaca – kaca. Dia tulus mengucapkan itu.
“Tentu, seperti biasa, kau bisa menghitung 10 jam dari sekarang
dan aku sudah kembali membangunkanmu..” jawab Lay sambil menyampirkan senapan
laras panjang dipunggungnya.
“Aku hanya takut seperti Tao, Kakaknya Kris juga tidak kunjung
kembali sampai hari ini. Berujung orang – orang berbadan besar membawa paksa
Tao ke Battlefield katanya mereka yang masuk kesana
tidak akan kembali dan dijadikan budak… aku tidak mau seperti itu.”
Kai memang masih kecil. Tapi ada satu hal yang berbeda darinya.
Disaat hal – hal menakutkan bagi seumurannya, Kai merasa penasaran dengan hal –
hal itu. Semua itu sepenuhnya membuat Lay sedikit lega hati karena adiknya
bukan seorang penakut.
“Kau tahu, kakakmu ini bahkan bisa membidik musuh meski jauhnya
satu kilo mill,” jawab Lay meyakinkan adiknya. “Yang pasti, aku tidak akan
pernah meninggalkanmu Kai.”
“Janji?”
“Aku janji padamu..”
Kai meraih jemari Lay kemudian menautkan kelingking mereka. “Kau
sudah berjanji. Kalau kakak mengingkarinya aku akan menolak semua perintahmu.”
Lay kembali tersenyum. Dia mengacak pelan rambut adiknya
kemudian melangkah menuju pintu. “Aku pergi, cepat tidur…”
“Eoh…” jawab Kai.
Lay melangkah meninggalkan rumah mereka. Pintu dia biarkan tidak
terkunci. Ada satu kebiasaan di Agarn, bila meninggalkan rumah terkunci, malah
akan menjadi bahan incaran musuh maka dari itu kunci sangat dilarang disana,
demi keselamatan.
Langit sudah sangat gelap saat Lay sudah jauh melangkah. Meski
langit gelap tetapi suasana malam disana tidak pernah sepi, suara alat – alat
tempur senantiasa menemani mereka sepanjang malam.
Kai memandang kepergian kakaknya dari jendela rumah, tadi dia
memang diperintahkan untuk tidur tapi sudah menjadi kebiasaan Kai untuk selalu
melihat kakaknya pergi sampai bayangannya hilang ditelan asap peperangan.
“Tuhan.. lindungilah kakakku lagi malam ini. Cuma dia yang aku
punya, cukuplah ayah menemani ibu disana dan biarkan Kakak menemaniku disini..”
Kedua tangan tertangkup dan air mata menetes menemani kata –
kata perlindungan dari bibir mungil Kai.
***
Garben Street 25 –Perbatasan Agarn dengan Battlefield 22.40
Lay tengah terduduk didekat perapian. Malam beranjak larut, tapi
dia tidak boleh kehilangan kesadarannya. Dengan berbagai cara dia menghilangkan
rasa kantuk yang mulai menghinggapinya, tapi setiap suara ledakan terdengar
semua kembali lenyap. Terus seperti itu.
Lay berdiri dari duduknya. Berjalan kedalam tenda prajurit untuk
mengambil beberapa peluru cadangan. Dia tidak ingin kecolongan seperti kasus
Kris. Senapannya tidak boleh kekurangan sumber nutrisinya.
“Kau sudah dengar,” satu suara menyapa Lay yang sedang fokus
dengan senapannya. Lay mengalihkan pandangannya dan mendapati lelaki berkulit
putih yang sudah akrab dengan matanya. Suho.
“Apa?” tanya Lay.
“Pertahanan lapisan satu mengabari untuk memperat pengamanan
disini. Mereka bilang tentara Battlefield sudah hampir mengalahkan lapisan
satu.”
Suho menghembsukan nafas berat setelah selesai dengan
kalimatnya. Lay yang mendengar berita itu menghentikan aktifitas dengan
senapannya. Dia mendongak menatap Suho dalam diam, bingung harus apa yang dia ucapkan.
“Semua berjalan terlalu cepat..” timpal Suho saat menyadari
ekspresi Lay.
“Lapisan satu mereka militer kelas pertama, kalau sampai mereka
lolos disana aku tidak membayangkan seperti apa kekuatan musuh.”
“Aku bahkan tidak berani membayangkannya.” Timpal Suho
“Apa rencana komandan?”
“Dia nampak putus asa. Meski tidak mengatakan secara langsung
tapi aku bisa merasakan dia sudah lelah bertarung. Dia menyarankan kita semua
untuk berdoa dan melakukan hal yang belum kita lakukan dengan orang tersayang.”
“Dia tidak seharusnya seperti itu, setidaknya masih ada 4
lapisan untuk menuju daerah ini..”
“Mau mencoba menghitung bersamaku akan berapa lama lagi itu
terjadi?”
“Ak-”
Baamm!!!
Belum selesai Lay dengan kalimatnya, satu debaman kencang
terdengar begitu menusuk telinga. Semua tentara keluar dari tenda berlari
keluar untuk melihat suasana dengan senjata siap ditangan masing – masing.
Termasuk Lay dan Suho. Mereka berdiri menajamkan pandangan dan pendengaran
mereka.
“Dari mana itu?” pertanyaan riuh rata – rata tentara yang ada
disana.
Lay dan Suho saling bertukar pandang. Mereka merasakan kedua
tangan bergetar dengan keringat dingin yang mulai menetes.
Satu cahaya menyilaukan menyorot mereka dari ujung jalan gelap.
Komandan telah memperingatkan mereka untuk siaga dengan apa yang ada didepan
mereka. Beberapa tentara mulai menyebar, mencari tempat bersembunyi dan siap
menyerang apapun itu. Semua tinggal menunggu perintah. Cahaya semakin dekat,
yang ternyata datang dari sebuah mobil. Baru komandan akan memberikan perintah,
seseorang dari mobil itu meniupkan peluit yang menjadi pertanda bahwa mereka
bagian dari tentara Agarn.
“TURUNKAN SENJATA!! KEMBALI BERKUMPUL!!!” teriak sang komandan
yang sontak membuat para prajurit kembali berkumpul.
“Musuh telah menembus lapisan kedua, suara ledakan tadi berasal
dari senapan penghancur untuk membobol pertahanan ketiga. Mereka membawa
senjata canggih, senapan yang bisa menghancurkan semuanya hanya dengan sekejap
mata.” Lapor salah satu tentara dari mobil tadi dengan suara gemetaran.
Suasana mendadak hening.
Baru beberapa menit yang lalu Lay mendapat kabar dari Suho musuh
sedang bergelut dengan lapisan satu, sekarang bahkan mereka sedang menjejal
lapisan tiga.
“Kita tidak memiliki banyak waktu, jadi aku perintahkan kalian
kembali kerumah masing – masing, dan berisitirahat.” Ucap sang komandan yang
direspon tatapan tidak percaya dari yang lainnya. “LAKSANAKAN!” teriak komandan
lagi.
Mereka yang ada disana masih merasa bingung tapi tetap
membubarkan diri untuk kembali kerumah masing – masing. Mereka bingung, disaat
suasana genting seperti ini pemimpin mereka malah menyuruh istirahat bukan
bersiap – siap ataupun mematangkan strategi.
“Cocok dengan apa yang aku tangkap,” ucap Suho saat Lay tengah
mengemasi senjata miliknya. “Dia sudah mengibarkan bendera putih, percuma kita
disini..”
“Aku mengerti perasaannya,” jawab Lay datar.
“Musuh berhasil merobohkan lapisan 1,2,3 maka kita hanya tinggal
berdoa,”
“Aku akan menghabiskan beberapa hari ini dengan adikku dirumah,”
potong Lay seakan mencoba menyamarkan bahwa mereka sedang bubar dari acara
kemah sekolah. “Kau?”
“Bercanda?” tanya Suho skeptis. “Aku akan membujuk komandan, aku
tinggal disini. Kau mau ikut?”
“Aku serahkan padamu, Panglima Suho. Aku pulang dulu..” jawab
Lay sambil menepuk pelan bahu Suho.
Kerumunan tentara lapisan enam terlihat memenuhi jalanan gelap.
Mereka akan pulang kerumah dan menyampaikan berita buruk. Lay bergabung
dengan mereka, melangkah berat dilapisan tanah berdebu. Banyak tentara disana,
tapi keadaan sunyi senyap hanya suara jejak kaki yang terdengar. Mereka terlalu
sibuk dengan fikiran masing – masing untuk saling bercengkrama.
“Aku bahkan bingung harus mengabari apa pada orang dirumah,”
tiba – tiba satu suara membangunkan Lay dari lamunan dinginnya. Key, tentara
yang lumayan Lay kenal. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya Key lagi.
Lay mengangkat bahunya dan tersenyum pahit.“entahlah,”
Dan mereka kembali terdiam.
Fikiran Lay tergelitik dengan pertanyaan Key barusan. Apa yang
akan dia katakan saat membangunkan Kai dan menatap wajah polosnya. Ucapan Lay
beberapa menit yang lalu juga kembali terngiang tentang dia akan menghabiskan
beberapa hari dengan adiknya, tapi satu pertanyaan akankah ada kata ‘beberapa
hari’ itu? Sudah tidak memungkinkan lagi untuk penduduk Agarn bermimpi.
Entahlah.
***
Musuh utama Agarn adalah tentara Battlefield tapi ada hal lain
yang mereka takutkan. Yaitu kelompok penyelundup dari Battlefield. Bukan
pasukan tentara, mereka hanya warga Battlefield korban perang yang hidup dalam
kemiskinan. Efek kemiskinan dan anggapan bahwa pecahnya perang karena keras
kepalanya penduduk Agarn, membuat kelompok ini menjadi Brutal dan pembunuh
berdarah dingin. Ini alasan tiap lapisan wilayah Agarn memiliki pos keamanan,
untuk mengawasi komplotan penyelundup. Tapi mereka seperti hantu, terlalu lihai
bersembunyi.
Dalam dingin dan sunyinya langit malam, Lay melangkah dalam
diam. Dia terlalu sibuk dengan peperangan yang semakin mendekat untuk
menghiraukan apa yang ada disekitarnya. Sampai Lay merasa tidak nyaman, dia
kembali memusatkan perhatiannya pada jalan yang dia tempuh tapi dia merasa ada
seseorang mengikuti.
Lay memasang telinganya pada tingkat konsentrasi tinggi,
perlahan dia menarik senapan laras panjang dipunggunggunya. Tapi belum sempat
dia meraih senapan, satu suara ledakan terdengar dibelakang.
Dar!!
Sontak Lay membalikan tubuhnya. Ketika dia mendapati enam orang
berdiri dibelakangnya dengan tiga orang dari mereka memegang pistol. Lay tidak
bisa melihat jelas wajah mereka, karena langit terlalu gelap dan bulan enggan
untuk bersinar saat itu.
“Siapa kalian?” tanya Lay tenang dengan pisau sudah berada dalam
genggamannya.
Tidak ada jawaban, tapi yang terdengar hanya suara tawa dari
mereka yang menggelegar. Mereka lelaki. Tepat dengan tubuh besar dan suara
berat.
Mereka berjalan semakin dekat dan Lay semakin bersiap dengan
senjatanya.
“Aku bertanya siapa dan apa mau kalian?” tanya Lay lagi. “Cukup
katakan apa yang kalian inginkan dan semua selesai,”
Satu dari mereka mendekat. Lay bisa melihat jelas wajahnya
dengan jarak seperti ini. Lelaki dengan raut wajah dingin, rambut keriting
berantakan menatapnya tajam. Dia mengucapkan serentetan kalimat, tapi satu
katapun Lay tidak mengerti. Dari sini Lay menyimpulkan mereka adalah komplotan
Battlefield.
Satu hal yang Lay takutkan tadi adalah perang yang akan pecah.
Tapi satu ketakutan kembali muncul. Enam pembunuh berdarah dingin tengah
berdiri didepannya. Apa yang mereka inginkan? Bahkan Lay saat ini tidak seperti
seseorang yang memiliki barang berharga.
“A…a..pa… mau mu?” tanya Lay terbata dalam bahasa Battlefield.
Lelaki yang tadi mendekat kembali mengucapan beberapa rentetan
kalimat. Tapi Lay tetap tidak mengerti apa yang mereka inginkan.
Tidak mau berlama – lama dengan keadaan ini, Lay menarik senapan
panjangnya secepat kilat juga dia menembakan peluru pertamanya tepat pada
kaki kiri si lelaki keriting didepannya. Satu erangan terdengar membelah malam.
Lay tahu suasana akan semakin buruk, maka dia berlari secepat mungkin.
Tidak terima temannya terluka, lima orang sisanya dari mereka
mengamuk dan sekarang tengah mengejar langkah Lay. Suara letusan peluru dari
pistol mereka terdengar jelas ditelinga Lay. Terimakasih pada keberuntungan,
peluru – peluru mereka tidak mengenai Lay sama sekali. Mungkin karena
gerombolan itu memang tidak memiliki kemampuan menembak, yang ada mereka hanya
memboros peluru.
Lima kali peluru dari pistol gerombolan itu melesat, dan lima
kali juga semua meleset tidak mengenai Lay. Berulang kali Lay menghembuskan
nafas leganya. Tidak ingin menyerah sampai situ, kelima gerombolan itu memacu
lari semakin cepat. Lay bisa merasakan aura mereka. Nafas Lay semakin memburu,
perdetiknya semakin sedikit udara yang bisa dia hirup. Lay kelelahan. Nafas
memburu, keringat bercucuran dan dia merasakan kecepatan larinya semakin
melambat, semua tidak bisa diteruskan hanya begini, gumam Lay.
Dia menghentikan langkahnya, berbalik kemudian dengan senapan
panjangnya Lay kembali membidik. Fokus, ketika lelaki berbadan gempal barisan
paling depan semakin mendekat, Lay menarik pelatuknya.
Dan…
Dor!
Pelurunya memang tidak membunuh, tapi tepat luka dikakinya
membuat dia tidak bisa berlari mendekati Lay lagi. Satu kembali tumbang, empat
masih tersisa. Lay kembali membidik menunggu lelaki berambut cepak lebih dekat
kemudian baru Lay akan menarik pelatuknya.
Dekat.. dekat.. baru Lay akan menarik pelatuknya, dia merasakan
nyeri luar biasa pada lengan kanannya.
“Aww…. Sialan,”
maki Lay. Tanpa dia sadari lelaki berambut cepak melemparkan pisau belati
kearah Lay yang tengah sibuk membidik. Lay berlari meninggalkan mereka yang
semakin mendekat, dia kembali menyampirkan senapannya kemudian beralih pada
belati dilengannya. Lay meringis saat mendapati belati itu meninggalkan luka
yang lumayan, kulitnya robek menunjukan daging merah dan terus mengeluarkan
darah segar. Dan rasanya sangat menyakitkan.
Disaat rasa sakit makin menjadi, keringat makin membanjiri tubuh
dan fikiran Lay semakin sulit untuk berkonsentrasi. Dia berbalik, kembali
memposisikan senapannya dan dengan membabi buta dia menembaki musuh dibelakang.
Satu peluru.. dor! Dua peluru, tiga, empat, lima dan
saat tarikan ke enam Lay menyadari pasokan pelurunya habis.
“Sial!”
Tersisa satu orang dari mereka yang kini berdiri tepat didepan
Lay. Lelaki tinggi besar dengan wajah sangar dan beberapa luka yang sepertinya
sudah lama membekas.
Lay melempar senapannya, kemudian mengeluarkan pisau miliknya.
Sambil menahan rasa sakit, dia berjaga – jaga untuk tetap waspada dan sadar
dengan keadaannya yang semakin parah.
“Menjauh dariku atau kau akan kuhabisi..” desak Lay.
Lelaki itu hanya tertawa seakan mengerti apa yang Lay ucapkan.
Satu langkah lebih dekat, dan satu hantaman tepat di perut Lay mendarat saat
itu juga. Lelaki itu kembali tertawa. Lay terkulai di tanah dengan perut yang
berdenyut dasyat. Lay memang terkenal handal dalam hal baku tembak, tapi dia
benci dengan perkelahian tangan kosong.
Lelaki itu berjongkok untuk melihat wajah Lay. Dia menarik pisau
yang ada ditangan Lay. Mencoba berdiri untuk membuat pertahanan, Lay malah
mendapat satu tendangan lagi diperutnya. Dan untuk sekali lagi Lay terjatuh
ditanah kering.
Ini sudah tidak bisa ditorelir. Darah yang terus mengucur dari
lengannya, serta perut yang luar biasa sakitnya membuat Lay sulit hanya untuk
mempertahankan diri. Tapi sekali lagi dia mencoba berdiri.
Kali ini lelaki itu hanya diam saat melihat Lay mencoba berdiri.
Dengan nafas terengah tidak ada lagi yang bisa Lay lakukan. Dia hanya menatap
lelaki itu. Lelaki itu menggerakan tangannya memberi gesture seakan menyuruh Lay pergi.
“Pe…r..ggi?” tanya Lay terbata.
Lelaki itu hanya tersenyum kecut dan mengangguk.
Tanpa fikir panjang Lay langsung berbalik dan berjalan cepat
meninggalkan tempat itu. Dia berfikiran mungkin lelaki itu hanya gerombolan
yang ingin menyiksa tentara Agarn. Mungkin. Lay terus mempercepat langkahnya.
Pertama dia takut lelaki itu berubah fikiran, kedua dia sudah tidak tahan
dengan luka dibadannnya.
“Hei…!” satu suara terdengar tepat dibelakang Lay. Entah
apa yang difikirkan Lay, seharusnya dia memacu langkahnya, tapi dia malah
berbalik dan mendapati lelaki tadi tengah berdiri dibelakangnya dengan senyum
menyeringai.
“Apa?” tanya Lay gemetar.
Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Lay. Dia hanya kembali
menyeringai dan mengacungkan tangan kanannya. Tangan kanan dimana dia memegan
pisau milik Lay yang dia rampas.
Lay menelan ludah getir. Dia berbalik secepat mungkin dan
berusaha untuk memacu larinya.
“Agarn…” ucap Lelaki itu.
Jleb.
Sesuatu yang menyakitkan menusuk seluruh tubuh Lay. Dia seperti
sudah tidak memiliki kekuatan apapun. Saat Lay tergeletak dan menyadari pisau
tadi sudah tertancap dari punggungnya.
***
Kai sudah tidak merasa mengantuk. Tapi sesuai pesan kakaknya dia
tidak boleh membuka matanya sebelum dia menyuruh Kai bangun. Itu yang membuat
sampai saat ini Kai tetap menutup matanya, meski ia sudah tidak tertidur.
“kenapa lama sekali…” ucap Kai dalam hati.
Terdengar langkah diseret dipekarangan rumah. Kai tetap
memejamkan matanya dan memasang telinga dengan tajam. Segala kemungkinan bisa
terjadi. Mungkin saja, itu bukan Kakaknya, melainkan komplotan yang suka
mempora-porandakan rumah.
Langkah itu semakin dekat. Suara derat pintu sekarang terdengar
menandakan orang itu sudah masuk rumahnya. Kai terus memasang telinga kuat. Dia
menangkap suara berat langkahnya dan deru nafas memburu. Siapa dia? Tanya Kai.
Kai merasakan jantungnya berdegup kencang saat suara langkah
kaki itu semakin mendekat pada tempat dimana dia berbaring. Kai malah
menyumpahi suara musik box yang mengalun yang menambah suasana menegangkan saat
itu.
Kreeett.
Kai mulai berfikir saat orang itu terduduk diranjang besinya.
Ingin dia bertanya, apa itu kakaknya tapi dia takut salah. Maka dari itu Kai
hanya bisa diam.
“Kai.. ini Kakak..” ucap orang itu dengan suara seperti susah
untuk diucapkan. “Tetap pejamkan matamu, diluar sedang bahaya, kita tidur lagi.
Aku menemanimu.”
Kai baru akan berniat membuka matanya, tapi sanggahan Lay
membuat dia mengangguk. “ehm… Kakak
kau baik – baik saja?” tanya Kai saat Lay sudah berbaring disampingnya.
“Aku baik – baik saja, hanya lelah dengan tugas patroli” jawab
Lay.
Kai mengernyitkan keningnya. Dia mendapati suara kakaknya
berbeda, nafasnya sangat cepat, tubunya berkeringat dan saat Lay menggenggam tangan
Kai dia merasakan tangan Lay sangat dingin.
“Kakak kau yakin baik – baik saja?” tanya Kai khawatir.
Ada jeda sebelum Lay menjawab. “Ehm… sudahlah kita tidur. Aku
lelah…” ucap Lay.
“Yakin?” tanya Kai lagi.
Lay tidak menjawab. Tapi satu tangan memeluknya dalam hangat,
membuat Kai menahan rentetan pertanyaannya dan kembali terlelap.
***
Malam yang panjang akhirnya berlalu. Sinar mentari sore kembali
menyambangi Agarn. Dengan langkah panjang, Suho berlari menuju tempat tinggal
Lay. Karena kebiasaan penduduk Agarn yang tidak pernah mengunci pintu, membuat
Suho langsung melangkah masuk.
“LAY…!!” teriak Suho.
Menit kemudian Suho diam membisu melihat apa yang ada
didepannya. Dia berjalan cepat menuju tempat tidur yang berada disudut dari
pintu masuk. Dia mendapati sesuatu yang tidak wajar.
Suho mendapati Lay dan adiknya tengah tertidur, tapi bukan itu
yang aneh, bukan. Baru Suho akan mendekat, adiknya Kai membuka mata dan
memandang Suho bingung.
“Kau siapa?” tanya Kai dengan suara serak.
Suho masih terpaku.“ahh.. aku, aku teman kakakmu tentara lapisan
enam.” Jawab Suho. “Ehm… siapa namamu?” tanya Suho.
“Kai,” jawab Kai pendek. Dia berusaha bangun dari tidurnya dan
mencoba melepaskan pelukan kakaknya, tapi Kai merasakan satu hal yang aneh.
Suho berjalan mendekati Kai dan membantu melepaskan pelukan Lay.
“Ayo kemari Kai,” ucap Suho.
Kai terdiam. Dia tidak beranjak mendekati Suho tapi dia masih
memandangi kakak disampingnya. Ini aneh fikirnya. Saat dia mencoba melepaskan
pelukan kakaknya tapi terasa berat. Dan saat Suho membantu melepaskannya posisi
tangan kakaknya tetap seperti itu. Kai melemparkan pandangan bertanya pada
Suho.
“Apa ada sesuatu yang terjadi semalam dengan kalian?” tanya
Suho.
Kai yang masih terduduk disamping tempat tidur menggeleng
bingung. Semalam sama sekali tidak terjadi apapun seingat dia. Ketika kakaknya
pulang dan berkata lelah kemudian mereka tidur.
Suho mendekati Kai. Dia memandang Lay yang terbaring kaku
didepan mereka, ketika Suho menyadari ada luka parah dilengan kanan Lay. Kaget
melihat luka itu Suho beralih pada tubuh Kai, tapi dia tidak menemukan luka
apapun ditubuh anak ini.
“Semalam kakak datang sangat terlambat. Dia bilang sangat lelah,
karena dia seperti sulit berbicara dan kedua tangannya sangat dingin, aku fikir
dia tidak apa – apa,” papar Kai dengan suara terbata. Air mata terlihat mulai
mengalir dari bola mata hitamnya. Tapi anak ini tidak terisak.
“Kau tidak tahu kondisi kakakmu seperti apa semalam?” tanya
Suho.
“Dia menyuruhku untuk untuk tetap menutup mata, dia bilang
diluar sedang ada bahaya.” Jawab Kai yang sekarang dia beranjak dari tempat itu
menjauh dari tempat tidur. Kai merasakan kedua tangannya bergetar dan air mata
tidak bisa dia kendalikan. “Kenapa kakakku?” tanya Kai
Suho kembali memeriksa tubuh Lay, selain luka tadi sekujur tubuh
lay juga penuh dengan lebam. Apa yang terjadi padanya, ucap Suho dalam hati.
Hari ini dia berniat mengabarkan pada Lay untuk mengamankan warga ke bukit
Delite untuk menghindari peperangan. Tapi apa daya Lay meninggalkannya.
“Kau ikut denganku, aku akan meminta bantuan tentara lain untuk
mengurus kakakmu.” Ucap Suho lembut.
“Aku tanya kenapa kakakku?” suara Kai kembali bergetar.
Suho diam tidak berani menjawab.
Kai terjatuh dilantai berdebu. Dia menangis dengan keras. Suho
tidak bisa berbuat banyak hanya menyaksikan tangis pilu Kai.
“Dia memang serakah,” ucap Kai.
“Siapa?” timpal Suho.
“Ibu kami. Pertama dia pergi, kemudian membawa Ayah, sekarang
mengajak Kakak. Padahal semalam aku berdoa pada tuhan untuk tetap menjaga kakak
bersamaku dan terlebih lagi Kakak sudah berjanji padaku… dia berjanji padaku”
ucap Kai disela tangisnya.
Suho mencoba mendekati Kai tapi dia menolak. Bangkit dari
duduknya mendekati tempat tidur, mengambil kotak musik yang sampai saat itu
masih mengalunkan melodi kemudian membantingnya. Suho yang melihat itu hanya
bisa terdiam.
“Dia bilang irama musik ini akan menemaniku saat dia pergi, tapi
sekarang dia pergi dan alunan musik itu juga telah kuhancurkan, apa yang akan
terjadi?” tanya Kai lebih pada drinya sendiri.
Suho baru berniat untuk meraih tangan Kai, tapi anak itu sudah
menolak dan berlari keluar rumah.
“Andai kita memiliki takdir yang lain, aku harap kita tidak
terlahir disini.” Ucap suho sambil menutupi tubuh Lay dengan selimut beludru
kemudian berlari keluar rumah menyusul Kai. Kejadian ini memang mengejutkan,
tapi masih banyak yang harus Suho pentingkan saat ini.
END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar