Lost in Love – Episode 1
: ‘Heartache’
Author : Pabo Namja
Cast : Byun
BaekHyun, Xi LuHan, Choi JinRi
Type : Chaptered
Genre : Romance, Sad
**
Seorang gadis manis berambut hitam panjang dan sedikit
bergelombang itu tengah menatap layar ponselnya – hal yang ia lakukan sejak
beberapa saat yang lalu. Seulas senyuman kecil terpeta di bibir mungilnya.
Akhirnya, hal yang ia tunggu setelah sekian lama ini tiba. Ia dan kekasihnya –
mereka berdua – akan pergi berkencan di waktu yang sempurna. Tidak ketika gadis
itu sedang sibuk, ataupun kekasihnya yang sibuk dengan segala pekerjaannya itu.
Tetapi gadis itu tak terlalu yakin. Ia membaringkan tubuhnya di
tempat tidur seraya mengenang segala kejadian yang sudah lalu. Ia dan kekasihnya,
betapa indahnya masa lalu itu….dan betapa suramnya masa kini. Gadis itu
mengangkat liontin yang sedang ia pakai. Liontin yang dulu sekali diberikan
oleh kekasihnya. Liontin yang indah, sama seperti matanya, begitulah yang
dikatakan kekasihnya ketika memberikan benda itu padanya. Meski tidak mahal
karena terbuat dari kaca, tetapi sangat berarti bagi gadis itu. baginya itulah
hadiah terindah. Perasaan bahagia ketika mendapatkan benda itulah yang menjadi
bukti kuat.
Gadis itu menghela nafas berat, ia menatap televisi yang tengah
menayangkan acara kesukaannya. Sebuah film yang menceritakan tentang mesin
waktu. Gadis itu memandang kosong ke arah televisi tersebut. Seandainya mesin
waktu itu memang benar-benar ada…ia ingin sekali mesin waktu itu membawanya
pergi ke masa lalu yang amat ia rindukan.
Gadis bermata indah itu melirik sebuah benda yang tergantung di
dindingnya. Kedua jarum benda itu menunjukkan waktu saat ini. pukul 5 sore. Itu
artinya satu jam lagi ia harus berangkat. Orang yang menunggunya sangat tidak
menyukai kata ‘terlambat’ atau bisa dibilang ‘ketidak-konsistenan’. Itu adalah
kata-kata yang sering diucapkan oleh orang yang begitu ia cintai, meskipun
gadis itu sendiri tidak yakin kata itu akan muncul di kamus besar kekasihnya.
Choi JinRi, nama gadis itu – memilih untuk membaca sebuah novel
sebentar. Hanya sekitar tiga puluh menit saja. Setelah itu ia berganti pakaian
dan berangkat. Ketika ia beranjak dari tempat tidur untuk menggapai rak buku di
kamarnya, perhatiannya teralihkan ke luar jendela. Ke sebuah taman kecil yang
tak jauh dari rumahnya. Tempat yang menjadi saksi bisu akan segala kisah di
masa lalunya. Tempat dimana ia bertemu dengan kekasihnya lima tahun silam.
JinRi menggeleng pelan. Ia kemudian menatap langit dengan
pandangan kosong sembari duduk bersandar di kursi yang berdekatan dengan
jendela. Tidak, Byun Baekhyun, kekasihnya, tidak akan kembali menjadi Baekhyun
nya yang dulu. Yang ada hanyalah Baekhyun yang sekarang. Yang selalu sibuk
dengan dirinya sendiri tanpa pernah lagi memperdulikan gadis itu dan juga
perasaannya. Baekhyun lebih memilih pekerjaannya sebagai seorang penyanyi
terkenal.
Bukan lagi Baekhyun yang selalu menyanyikan sebuah lagu bernada
indah hanya untuknya. Bukan lagi Baekhyun yang menginspirasinya dengan rangkaian
kata-kata dewasa dan bijaksana yang ia kutip dari buku-buku filosofi yang ia
baca. Yang ada hanyalah Byun Baekhyun, seorang penyanyi yang namanya tengah
melambung dan bersinar. Hanya seorang Baekhyun yang sama sekali tidak dikenal JinRi.
JinRi kembali menghela nafas.
Kalau ia tahu Baekhyun akan menjadi seperti ini, JinRi tidak
akan pernah dan tidak akan mau membantu laki-laki itu untuk mencapai impiannya.
Dengan cepat, JinRi menyangkal. Ia bukanlah pribadi yang memiliki ego tinggi.
Ia hanya seorang yang selalu mendahulukan kepentingan orang lain.
Tapi, entah mengapa ia ingin agar Baekhyun kembali menjadi
Baekhyun yang ia kenal dulu. Yang ia tahu, itu tidak mungkin ada lagi. JinRi
melirik kembali jam di kamarnya. Sudah hampir setengah enam. Gadis itu pun
langsung menyambar coat birunya dan segera memacu mobilnya ke
sebuah restoran tempat ia akan bertemu kekasinhya. Dalam lubuk hatinya, JinRi
sangat-sangat berharap bahwa Baekhyun akan ada di sana, menunggunya.
***
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke restoran
tersebut. JinRi memasuki restoran tempat dimana ia dan Baekhyun dulu sering
kunjungi. Restoran kesukaan Baekhyun. Gadis itu pun duduk dan melihat benda
kecil yang melingkari tangan kirinya. Pukul 18.30 KST. masih ada waktu 30
menit, pikir JinRi seraya menenangkan diri. Apalah artinya menunggu beberapa
menit lagi?
Namun, beberapa menit itu mulai menjadi beberapa jam yang
meresahkan. Sudah dua jam lebih gadis itu menunggu, namun matanya masih belum
menemukan sosok yang ia tunggu di antara kerumunan orang yang ada di restoran
itu. JinRi bersabar dan mencoba untuk berpikir positif. Mungkin saja laki-laki
itu terjebak macet, batinnya berkata lembut.
Akan tetapi, seberapa keras ia berusaha untuk menunggu, lambat
laun gadis itu mulai dihinggapi kejenuhan. Pikirannya menjadi semakin aneh,
bahkan ia sempat berpikir, ‘jangan-jangan Baekhyun bertemu dengan seekor
beruang kutub yang tersesat dan ia pergi ke Kutub Utara untuk memulangkannya’
yang tentu saja langsung ia sangkal karena terlalu konyol.
Gadis itu melirik jam yang kini telah menunjukkan pukul 9 malam.
Dua cangkir hot chocolate yang ia pesan kini telah mendingin
termakan waktu. JinRi mengambil ponsel dari saku coat nya saat ia merasakan benda kecil itu
bergetar. Gadis itu bisa melihat satu pesan masuk yang tertera di layar
ponselnya.
Baekhyun Byun
JinRi-ya, mianhae… Aku tidak bisa datang
menemuimu. Ternyata jadwal rekamanku hari ini lebih lama dari yang aku duga…
Mianhae, jika aku sudah membuatmu menunggu.
JinRi meremas ponselnya. Seperti yang ia sangka. Harusnya ia
mendengarkan perkataan teman-temannya untuk tidak menerima ajakan Baekhyun dan
memilih pergi bersama mereka. Jika saja ia menerima saran itu, pasti sekarang
ia sedang bersenang-senang, bukannya di restoran ini dan murung seorang diri.
seharusnya Baekhyun ada disini. Seharusnya…
JinRi membayar minuman yang ia pesan – yang pada akhirnya tidak
ia sentuh sama sekali – dan keluar dari restoran itu dengan penuh kekecewaan.
Gadis itu langsung disambut dengan tetesan air hujan tepat saat ia keluar dari
restoran. Tetesan-tetesan itu kian menderas, tetapi JinRi tidak peduli. Hatinya
terlalu sakit untuk khawatir ia akan basah. Ia memakai coat lalu berjalan menuju mobilnya yang
terparkir di seberang restoran dengan terburu-buru. Hingga ia tidak menyadari
seseorang yang ada di hadapannya.
Brukk.
“Ah” rintih JinRi.
“Mianhae, gwaenchana?” ucap seorang pria. Orang yang telah
menabrak JinRi. JinRi tersenyum manis.
“gwaenchana” balasnya singkat.
Pria itu membalas senyuman JinRi dengan senyuman kecil.
Ditatapnya JinRi yang tengah meringis akibat jatuh tadi. Pria itu mulai menilai
gadis di hadapannya, seperti yang selalu ia lakukan ke setiap orang yang baru
saja ia temui.
Mata pria itu menangkap kekecewaan yang terpancar dari mata sayu
gadis yang baru saja menabraknya itu. dilihat dari penampilan gadis itu yang
sedikit acak-acakan dan dengan kondisi bahwa gadis itu tidak berkonsentrasi
dengan keadaan sekitar, dapat ia simpulkan bahwa gadis yang ada di depannya ini
sedang memiliki masalah.
Masalah yang cukup besar sampai membuatnya tak berkonsentrasi. Padahal
gadis itu sangat manis, pikir pria itu tanpa ada maksud apapun. Mungkin ia
memang tertarik, tetapi hanya sebatas itu. tidak ada maksud lain. Segetir rasa
iba menyeruak di hatinya. Pria itu tersenyum, menambah kesan ramah pada
dirinya.
“Eum, hari sudah mulai malam dan dingin. Ditambah hujan semakin
bertambah deras” ucap pria itu lagi, hanya sekedar berbasa-basi. JinRi
memandang sekitarnya, lalu mengangguk perlahan. Ia diam saja. Rasanya tidak
enak jika langsung meninggalkan pria yang ada di hadapannya ini. gadis itu
tahu, pria itu sedang berusaha ramah-tamah padanya.
“Kau ada acara malam ini?” tanya pria tersebut. JinRi menggeleng
seraya menatap heran.
“Kalau begitu, kau mau menemaniku ke restoran itu?” tanya pria
itu seraya menunjuk ke arah restoran yang tadi sempat dikunjungi oleh JinRi.
“Restoran itu menjual hot
chocolate paling enak
sepanjang sejarah. Dan kurasa kau harus mencobanya” sambung pria itu.
JinRi menatapnya tak percaya sekaligus bingung. Apa-apaan pria
dihadapannya itu? berani sekali ia mengajak orang yang baru beberapa detik lalu
bertemu, yang bahkan mereka tidak saling mengenal satu sama lain. dan tanpa
disadari oleh JinRi, pria berambut cokelat keemasan itu menangkap adanya
keraguan di mata gadis di hadapannya.
“Ayolah, hanya sebentar saja. Aku tidak akan melakukan hal yang
macam-macam terhadapmu” bujuk pria tersebut. JinRi menggigit bibir bawahnya.
Gadis itu mempertimbangkan tawaran seorang pria baik hati – itulah kesan
pertama yang ia lihat dari sosok pria itu – di depannya. Tawaran yang bagus,
lagipula ia tidak ingin sendirian malam itu.
JinRi mengangguk membuat senyuman mengembang di wajah pria itu.
pria itu memasukkan tangannya ke saku jaket yang ia kenakan dan mulai berjalan
ke arah restoran tadi. JinRi berjalan di sampingnya. Selama beberapa detik,
mereka membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua.
“Jadi…” tutur pria tersebut, memulai percakapan di antara
mereka, “Siapa namamu?” tanyanya. Pertanyaan pertama yang akan diajukan oleh
setiap orang yang saling berkenalan.
“Choi JinRi” jawab JinRi dengan cepat. “Kau?” sambungnya.
“Luhan. Xi Luhan” ucap pria itu sembari tersenyum. JinRi
membentuk mulutnya menjadi huruf ‘O’
“Kau bukan orang Korea?” tanya JinRi sambil memperhatikan pria
yang tengah tersenyum kecil menatapnya.
“Ya.. aku memang bukan asli dari Negara ini. tapi orang sering
menganggapku orang Korea karena wajahku ini. sebenarnya aku ini berasal dari
China”
“Kau dari China?”
“Ya.. kenapa kau terkejut?”
“Tidak.. hanya saja … bahasa Koreamu sangat baik”
“Aku memang berasal dari China, tetapi aku sudah tinggal di
Korea sejak sepuluh tahun yang lalu”
JinRi terdiam mendengar penjelasan pria dari China itu. ia tak
tau harus bicara apa dengan orang yang baru ia kenal. Gadis itu memang bukan
tipe yang suka basa-basi.
“Jadi… JinRi -ssi” ujar Luhan, memastikan bahwa ia menyebut nama
gadis itu dengan benar. JinRi hanya mengangguk.
“Apa yang kau lakukan di malam hari seperti ini? Dan..sendiri”
tanyanya. JinRi hanya mendesah.
“Aku….ada janji dengan seseorang” jawab JinRi singkat.
“Seseorang?” tanya Luhan. Rupanya perbincangannya dengan gadis
itu membuatnya sedikit tertarik.
“Kekasihku” jelas JinRi. Luhan hanya mengangguk kecil.
“Lalu, dimana laki-laki beruntung itu?” tanya Luhan yang membuat
JinRi menghela nafas pelan.
“Ia tidak jadi datang. Ia sibuk”
“Sayang sekali” komentar Luhan. Bila ia boleh jujur, jika saja
ialah yang menjadi kekasih JinRi – gadis yang membuatnya tertarik seperti ini –
ia akan datang. Atau setidaknya membatalkan acara sehari sebelumnya jika ia
tidak bisa.
Luhan mendorong pintu masuk restoran itu, sementara gadis
disampingnya hanya tersenyum hambar. Bukankah ia baru saja keluar dari tempat
ini beberapa menit yang lalu? Mereka berdua memilih tempat di sudut restoran.
Tak lama, seorang pelayan mendatangi mereka.
“So.. coffe
or chocolate?” tanya Luhan. JinRi membaca menu walau tidak ada yang masuk
di dalam ingatannya. Ia hanya melemparkan tatapan kosong.
“Apa saja” jawabnya cepat.
“Kalau begitu kami pesan hot
chocolate nya dua” ujar Luhan
pada pelayan. Tak perlu lama menunggu, pesanan keduanya telah tersaji di
hadapan masing-masing. Luhan menyesap hot chocolate nya, sedangkan JinRi hanya menatap
kosong ke arah cangkir kecil berisi minuman kesukaan kekasihnya.
“Kenapa tidak diminum? Minumlah selagi masih hangat. Apalagi
kita baru saja hujan-hujanan” titah Luhan. JinRi langsung tersadar dari lamunan
sesaatnya barusan. Ia kemudian meneguk minuman itu. minuman yang sempat ia
pesan sebelumnya dan sama sekali belum tersentuh olehnya. Minuman cokelat yang
enak, manis dan kental, tetapi tidak terlalu manis. JinRi tersenyum. Pria di
hadapannya ini benar. Restoran ini menjual hot
chocolate paling enak yang
pernah ia rasakan. Pantas saja Baekhyun sangat menyukai hot chocolate di restoran itu. pandangan gadis itu
kemudian beralih ke arah Luhan yang sedang tertawa kecil.
“Wae?” tanya JinRi. Luhan tersenyum simpul.
“Gwaenchana” jawabnya.
Sebenarnya, Luhan geli dengan jawaban gadis bercoat biru itu. simple, mungkin
menyebalkan bagi sebagian orang, tetapi tetap saja itu jawaban yang benar. JinRi
mengangkat bahu lalu kembali menyeruput minumannya. Keheningan kembali
menghampiri mereka untuk beberapa menit. JinRi menghela nafas lalu memandang ke
arah langit malam itu. hujan, gelap, namun ia masih bisa melihat bulan meski
sinar sang raja malam itu samar dan tertutup awan.
“Bulan…” gumam JinRi tanpa sadar. Melihatnya, gadis itu teringat
Baekhyun. Laki-laki itu juga suka melihat bulan. Dan ketika ia sedih, ia akan
melihatnya jika ada. Karena Baekhyun yang dulu selalu berkata…
“Jika kau sedih, lihatlah bulan. Bulan itu indah dan
menenangkan. Meski terkadang keberadaannya tidak begitu nyata dan berbias” kata-kata
itulah yang selalu berputar memenuhi pikiran JinRi.
“Jika kau sedih, lihatlah bulan. Bulan itu indah dan
menenangkan. Meski terkadang keberadaannya tidak begitu nyata dan berbias”
sahut Luhan tiba-tiba. JinRi terbelalak. Kata-kata itu, kata-kata yang baru
saja Luhan ucapkan..sama persis dengan apa yang sering dikatakan oleh Baekhyun
padanya dulu.
“Baekhyun…” lirihnya.
Luhan menatap gadis iu bingung. Pria itu semakin bingung ketika
ia melihat dua sungai kecil terbentuk di pipi JinRi karena air matanya menetes
pelan. JinRi menatap Luhan, seolah meminta jawaban dari pertanyaan yang selalu
menghantuinya.
“Apa yang harus kulakukan?”
Luhan menatapnya iba. Ia menggeser kursinya mendekati kursi JinRi,
lalu menatap gadis itu.
“Jika ada masalah, katakanlah. Jangan kau pendam sendiri. Justru
itu akan membuatmu lebih sakit” ujar Luhan, memberikan nasihat.
JinRi menatap Luhan tepat di mata pria itu. mencari sesuatu
yang..entahlah..ia sendiri tidak tahu apa itu. mata yang tengah menatapnya
dalam itu tidak menyimpan keraguan, kebohongan ataupun yang lain. hanya sebuah
tatapan ingin tahu dan membantu yang tampak di mata tersebut.
JinRi menghela nafas. Dapatkah ia mempercayai pria yang belum
ada satu jam yang lalu ia kenal? Mereka baru saja bertemu. JinRi sendiri tidak
memiliki sahabat. Hidupnya sendirian dan terasa hampa. Hanya Baekhyun lah
satu-satunya orang yang ia persilahkan memasuki kehidupannya.
Sementara pria di hadapannya ini? baru saja bertemu, tetapi ia
sudah meyakinkan dirinya untuk menceritakan semuanya. Akhirnya, setelah cukup
lama berpikir, gadis itu memutuskan untuk menceritakan semuanya. Toh, jika
Luhan tahu semuanya, dia tidak akan memberitahukannya kepada semua orang.
Atau jika ya, mungkin itu akan mempermudah baginya untuk mengambil keputusan.
Setelah menarik nafas beberapa kali untuk menenangkan diri, JinRi
pun menceritakan semua. Tentang Baekhyun yang selalu memberinya perlindungan.
Baekhyun yang selalu membuatnya merasa kuat, dan yang telah membuatnya
merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Dan yang beberapa tahun kemudian,
membuatnya merasakan bagaimana terjatuh dengan keras. Merasakan kesedihan yang
amat mendalam, dan bahasa sederhananya adalah patah hati.
Tak terasa, air mata gadis itu tumpah. Mengalir dengan deras. JinRi
menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan berharap akan ada tangan-tangan
Baekhyun yang merengkuhnya. Membuatnya merasa hangat dan mampu membuat kedua
aliran hangat kristal bening itu terhenti. Tapi, itu mustahil. Baekhyun tidak
ada disana. Yang ada hanyalah sebuah tangan yang mengacak-acak rambutnya dan
suara lembut pria yang baru saja ia kenal.
“Jika kau ingin menangis, menangislah. Tidak perlu kau tahan.
Menangislah sampai kau merasa lega. Dan usahakan jangan menangis lagi karena
hal yang sama. Ingatlah, menangis bukanlah hal yang salah”
JinRi menengok ke arah Luhan. Ia tertegun melihat Luhan yang
tersenyum menatapnya. Senyum yang menenangkan. Yang entah mengapa bisa membuat
air matanya berhenti mengalir.
Berbeda dengan Baekhyun yang selalu memeluknya dan membujuknya
agar air matanya berhenti. Luhan… entahlah. Ia mengatakan bahwa menangis
bukanlah hal yang salah. Pendapat yang berbeda, namun menghasilkan hal yang
sama. Membuat air matanya berhenti mengalir.
Dan tanpa ia sadari, ucapan Luhan itu mampu membuat perasaan
aneh yang mendesir di dadanya. Menjahit sedikit luka robek dihatinya. Apakah
gadis ini mulai jatuh cinta dengan pria baik hati yang baru saja dikenalnya?
Lalu, bagaimana dengan Baekhyun?
Luhan tersenyum melihat JinRi yang sudah berhenti menangis. Ia
bukanlah psikopat, justru sebaliknya. Jika psikopat adalah orang yang suka
melihat orang lain menderita, ia malah paling tidak bisa melihat orang lain
menderita, apalagi seorang gadis. Dan menurutnya, orang yang menangis adalah
orang yang menderita. Contohnya gadis ini. gadis yang menangis karena
pengkhianatan pria beruntung yang tidak bersyukur, Byun Baekhyun.
“Sudah baikan?” tanyanya. JinRi mengangguk pelan. Luhan
tersenyum, lalu menyodorkan hot
chocolate milik JinRi yang
belum habis.
“Ini minumanmu. Ayo habiskan..” bujuk Luhan. JinRi tertawa. Tawa
yang manis, tawa yang indah. Tawa seorang gadis yang untuk pertama kalinya
memesona seorang Xi Luhan.
Dalam hatinya, Luhan tidak dapat memungkiri bahwa ia semakin
tertarik dengan gadis di depannya ini. gadis yang sedang menyeruput hot chocolate terenak yang pernah ada dengan
perasaan tenang, lalu tersenyum ketika menyadari bahwa Luhan melihat ke
arahnya. Luhan membalas senyuman gadis itu.
Setelah memandang langit malam yang kelam, indah dan tenang,
Luhan melihat jam di tangannya. Malam sudah cukup larut, hujan juga sudah
berhenti. Tak terasa sudah hampir dua jam mereka berada di sana, sudah hampir
dua jam pula mereka duduk sambil berbincang-bincang. Luhan kembali melirik JinRi
yang sedang menyeruput hot
chocolate miliknya sembari
tersenyum melihat pemandangan malam yang indah. Luhan mulai merangkai kata-kata
untuk mengajak gadis itu pulang. Ia menghela nafas sebentar.
“Eum, JinRi -ssi” panggil Luhan.
“Hmm?” gumam JinRi tanpa menoleh.
“Kau tidak ingin pulang? Ini sudah malam sekali, tak baik
seorang gadis pulang malam” ucap Luhan. JinRi menatapnya dengan tatapan yang
menggoda Luhan untuk tetap di sini sampai pagi, atau setidaknya sampai JinRi
mau pulang.
Tetapi, sebagai seorang pria yang peduli akan semuanya, Luhan
memutuskan untuk menahan keinginannya dan bersikukuh dalam pendiriannya. Pukul
setengah dua belas malam. Waktunya gadis untuk pulang. Lagipula jika ia
mengantarnya pulang pagi, bukankah orangtua gadis itu akan berpikir macam-macam
tentangnya. Bisa-bisa ia disuruh untuk menikahi gadis tersebut. Huh, itu tidak
lucu, pikirnya.
“Ayolah…besok aku akan mengantarmu ke sini lagi, dan kita akan
mengobrol kembali..you know, all the things that friends do?” bujuk
Luhan. JinRi mengaduk hot
chocolatenya sembari berpikir.
“Jangan diaduk-aduk seperti itu, nanti mengental. Cokelat itu
sudah cukup kental” tegur Luhan, membuat JinRi langsung memerintahkan tangannya
untuk berhenti mengaduk hot chocolate itu.
“Mianhae.. hanya saja…aku tidak ingin sendirian malam ini”
ungkap JinRi seraya menatap kosong ke arah hot
chocolate nya. Luhan menatap
gadis itu dengan pandangan iba. Ia mencondongkan tubunya sampai bibirnya bisa
berbisik lembut di telinga JinRi. Pria itu berbisik perlahan dengan suara yang lembut.
“Kalau itu masalahmu, aku punya solusinya..” bisiknya pelan,
membuat jantung JinRi berdetak dua kali lebih kencang dan tubuhnya sedikit
bergetar. JinRi menunduk. Rasa itu kembali hadir. Rasa yang ia rasakan saat
bertemu Baekhyun. Rasa yang..mungkin kini telah memudar kepada Baekhyun. Tetapi
datang kembali dan terasa lebih kuat pada Luhan.
JinRi menggigit bibirnya. Apa yang harus ia lakukan? Setiap
kata-kata pria yang baru dikenalnya itu terasa begitu…dewasa. Mengingatkannya
pada Baekhyun. Belum lagi perbuatannya yang selalu membuat kejutan yang
menyenangkan dan menenangkan. Juga membuat jantungnya berdegup lebih kencang
dari yang seharusnya.
“Mm, apa?” tanya JinRi. Jantungnya yang berdetak sangat kencang
membuatnya sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Dasar mengapa kau tak bisa diajak
kompromi, batinnya kesal.
“Bagaimana kalau kita saling tukar nomor masing-masing?” jawab
Luhan yang sudah berdiri tegak dan memegang gelas hot chocolate miliknya. JinRi yang sedang
menyeruput minumannya mengangguk.
“Baiklah” jawab JinRi sambil berdiri.
“Kita mau kemana?” tanya Luhan.
“Pulang. Bukankah kau yang tadi mengajakku pulang?” jawab JinRi
langsung berjalan begitu saja.
“Kita tidak jadi bertukar nomor ponsel?” tanya Luhan sambil
menyamai langkah JinRi.
“Ini. Kau ketik saja nomormu” ucap JinRi seraya menyerahkan
ponselnya pada Luhan. Luhan mengangguk dan menerimanya, lalu mengetik sederet
nomor yang ia hafal di luar kepala.
“Hubungi aku ya” pinta Luhan ketika mengembalikan ponsel
tersebut kepada pemiliknya. JinRi menyimpan nomor yang telah diketik oleh
Luhan, lalu meneleponnya. Tidak sampai lima detik kemudian, Luhan meraih sebuah iPhone dari sakunya lalu melihat siapa yang
memanggilnya. Nomor asing.
“Ini nomor mu?” tanyanya. JinRi meminta agar ia bisa melihatnya
lebih dekat, membandingkannya dengan nomor yang ia hafal di luar kepala, lalu
mengangguk. Luhan mengangguk lalu menekan tombol hijau yang menyambungkannya
dengan telepon JinRi. Ia mendekatkan benda elektronik mungil itu ke telinganya.
“Yeobosaeyo?” tanyanya, yang kemudian terekam dan diputarkan di
ponsel JinRi. Gadis itu terkejut, lalu mengangkat ponsel miliknya dan
memandangi layarnya. sudah diduga, layarnya seolah mengatakan bahwa
panggilannya dijawab.
“Kenapa kau malah meneleponku?” tanya JinRi sambil mematikan
sambungan.
“Aku hanya membuktikan bahwa aku bisa menghubungimu” jawabnya
sambil terkekeh kecil yang membuat JinRi mengerucutkan bibirnya.
“Haha, sudah jangan cemberut seperti itu. ayo, aku antar kau
pulang”
***
JinRi sampai di rumahnya yang sepi pukul setengah satu malam. Ia
memasuki kamarnya dan langsung berbaring di ranjangnya. Gadis itu memejamkan
mata, menandakan bahwa ia sudah siap untuk tidur. Namun, tiba-tiba saja
ponselnya berbunyi, menandakan sebuah pesan atau telepon masuk di sana. Dengan
malas ia membuka mata dan meraih telepon tersebut, lalu melihat layar. Byun
Baekhyun, pikirnya. Dengan setengah hati, ia menjawab panggilan masuk itu.
“Mau apa?” tanya JinRi langsung. Hatinya kecewa, kecewa karena
ini sudah kesekian ribu kalinya Baekhyun menyakitinya.
“JinRi-ya… aku minta maaf karena tidak bisa
menemuimu” jelas Baekhyun. JinRi mendesah lalu menggeleng. Walaupun
ia tahu itu percakapan di telepon, ia tahu bahwa Baekhyun tidak akan melihatnya
menggelengkan kepala. Sedangkan Baekhyun, laki-laki itu menunggu jawaban dari JinRi
yang sekarang seperti beberapa titik di dalam tanda kutip. Diam, tak menjawab.
“Mianhae…” ulang Baekhyun yang membuat JinRi memutar
kedua bola matanya dengan kesal.
“Sekarang kau ada dimana? Jangan katakan kau masih menungguku
di restoran” ujar Baekhyun.
“Kau ini percaya diri sekali, tuan Byun. Aku sudah ada di
kamarku” JinRi akhirnya membuka suara, membuat Baekhyun mendesah senang
karenanya.
“Begitu.. syukurlah…” sahut Baekhyun.
“Ya.. kau sudah selesai bicara tuan Byun? Jika sudah, aku
putuskan teleponnya sekarang. Aku mengantuk” ucap JinRi lalu mematikan sambungan
telepon sebelum Baekhyun bisa mencegahnya. Ia mengambil sebuah buku secara asal
dan membacanya meskipun pikirannya melayang tidak tahu kemana. Bahkan tidak ada
satupun kata-kata yang masuk ke dalam pikirannya. Hatinya sakit, perih dan
kecewa. Dan semua itu tertuju pada satu nama, Byun Baekhyun.
JinRi tahu, sangat tahu malah.. ia seharusnya mengakhiri
hubungan mereka, tetapi apakah ia bisa? JinRI masih bersabar, dan jika
kesabarannya sudah mencapai angka 0 atau minus 1 ke bawah, barulah gadis itu akan
melakukannya. JinRi tahu, itu alasan yang konyol, tetapi JinRi masih mencintai
laki-laki itu.
Baby don’t cry tonight eodumi geochigo namyeon
Baby don’t cry tonight eobseotdeon iri doel geoya
JinRi menengok lalu menghela napas. Itu lagu yang menjadi ringtone di ponselnya, lagu yang sering
dinyanyikan Baekhyun untuknya dulu. Gadis itu memutuskan untuk membiarkannya
dan memfokuskan diri untuk membaca buku tersebut. Pasti telepon itu dari
Baekhyun, pikirnya.
Mulgeopumi doeneun geoseun nega aniya kkeutnae mollaya haetdeon
So baby don’t cry cry nae sarangi neol jikil teni
Dengan kesal JinRi melempar buku yang ia baca lalu menyambar
telepon genggamnya. Ia memencet tombol hijau lalu mendekatkan benda kecil
berbentuk persegi panjang itu ke telinganya.
“Kau mau apa lagi, hah? Bukankah sudah kubilang aku mengantuk”
bentak JinRi kepada pemanggil tak bersalah yang berada entah dimana. Pemanggil
tersebut kaget, tak mengira gadis manis yang diteleponnya akan marah secepat
itu.
“Ya..ya.. ini aku Luhan” JinRi mendengar sang pemanggil
menyahut. Ketika mendengar pernyataan tersebut, jantung JinRi langsung
berdebar-debar dan wajahnya memerah. Ia menyesal telah membentak Luhan.
“Ng, mianhae.. ku kira kau Baekhyun. Hehe” ucap JinRi gugup. Ia
tertawa di ujung kalimatnya untuk menenangkan diri serta menutupi kegugupannya.
Dari seberang sana, Luhan mendengarkan sembari tersenyum. Ia tahu bahwa gadis
lawan bicaranya itu tengah gugup.
“Baekhyun, kenapa lagi dengan pria itu? dia menyakitimu lagi?”
tanya Luhan, yang langsung ingin menenggelamkan dirinya sendiri di laut mati
menyadari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Dugaannya benar, JinRi
langsung mematung. Cepat-cepat Luhan mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya, tadi aku menemukan liontin. Apa itu milikmu?” tanya
Luhan. Dengan segera, JinRi meraba sekitar lehernya. Dan benar saja, benda yang
biasa menggantung disana tidak ada. Mengapa ia bisa tidak menyadarinya?
Bukankah itu benda yang berharga baginya?
“Ah, iya. itu milikku”
“Kalau begitu aku akan mengantarnya ke rumahnu”
“Tidak usah.. aku tak ingin merepotkan. Bagaimana jika besok
kita bertemu di restoran saja” ajak JinRi.
“Baiklah….”
Dan bergulirlah perbincangan dari mulut mereka berdua, yang
mereka tak sadari bahwa perbincangan itulah yang akan menimbulkan sesuatu yang
membawa mereka pada pahit manisnya kehidupan.
***
Pria berkulit putih itu tengah melihat jamnya setelah sambungan
teleponnya ditutup oleh kekasihnya yang, entahlah…marah? Oke, mungkin ia memang
sudah keterlaluan dengan membuatnya menunggu. Tetapi… Ada suatu hal yang tak
bisa ia jelaskan. Ia memang pantas dimarahi, dan mungkin dibenci.
Pria itu memegangi dadanya. Rasa sakit itu datang lagi, yang
pria itu yakin, akan mengambil nyawanya beberapa waktu lagi. Ia harus segera
menjelaskan kepada kekasihnya tentang semuanya. Tentang penyakitnya,
perasaannya, dan berapa waktu lagi ia akan bertahan.
Pria itu menghela napas berat.
Kalau saja kanker paru-paru itu tidak menggerogoti tubuhnya,
mungkin ia sudah menghabiskan banyak waktu bersama kekasihnya. Atau mungkin, ia
sudah melamarnya. Impian yang ia punya untuk menjadi penyanyi professional
sudah menjadi impian semu. Menjadi penyanyi terkenal hanya menguras tenaganya.
Belum lagi paparazzi yang selalu ada di depan rumahnya. Sebelumnya,
ia tidak tahu akan hal itu. namun sekarang ia bosan dengan semua omong kosong
ini.
Dengan berjalan kaki ia melewati sebuah rumah yang sangat ia
kenal, rumah kekasihnya. Lampu kamar kekasihnya masih menyala, menandakan kalau
kekasihnya itu belum tidur.
“Mianhae… JinRi -ya”
.:To
Be Continue:.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar