Winter Tears
Author : Pabo Namja
Cast : Xi
Luhan, Ahn Jieun
Type : Oneshoot
Genre : Romance, Sad
**
Aku adalah orang terbodoh yang
membiarkan hatiku membeku
dan mati rasa karena terlalu
letih untuk menunggu.
Tidak seperti debu, cinta tidak
akan mudah menghilang tertiup angin dan sekuat apapun kita memaksanya untuk
membuang jauh perasaan itu. Dan mungkin, itulah aku… kepadanya… – Winter
Tears
***
Kenangan masa lalu itu kembali datang menghantui
Seiring dengan jatuhnya bulir-bulir air yang membeku dari langit
Membawaku pada kebekuan yang membuat hatiku mati rasa karenanya…
***
Brukk!!
Gadis berambut panjang itu bergumam kecil ketika sikunya secara
tak sengaja menyenggol sebuah kotak yang terletak di sudut meja hingga terjatuh
dan isinya tersebar di lantai. Ia segera meletakkan tumpukkan buku yang
dibawanya ke atas meja secara asal, dan segera berlutut untuk membereskan isi
kotak tersebut.
Awalnya ia tidak begitu menyadari, pikirannya sudah terlanjur
penuh dengan kegiatan bersih-bersihnya di apartemen baru ini. Tapi ketika
lembaran-lembaran polaroid yang merupakan isi dari kotak tadi berpindah ke
tangannya, menampakkan apa yang terbingkai disana, ukiran senyum manis
sekaligus rindu tak mampu untuk tak terlukis di bibirnya dan mungkin... juga,
pedih.
Ada lebih dari dua puluh lembar foto, yang merekam kenangan,
yang menyimpan memori, yang menjaga rasa, miliknya dan seseorang. Masih dengan
senyuman pilu, gadis itu memandangi satu persatu foto yang menjadi saksi atas
rentetan kisah masa lalu yang pernah ia alami. Tangan putihnya meraba foto itu,
berharap bukan hanya sosok dalam kertas saja yang dapat ia rasakan. Tetapi juga
raga pemiliknya.
Laki-laki itu….
Sahabatnya…
Musuh abadinya…
Teman masa kecilnya…
Pemilik bahu yang pernah
menampung semua air matanya…
Pemberi pelukan yang
hangat…
Belahan hatinya..
dan tentu, cintanya….
***
Aku mencoba mengukir kembali kenangan tentang masa lalu
Kenangan yang sebenarnya sudah membunuhku sejak lama
Kucoba untuk menapaki kembali masa-masa kelam
Yang membuatku terus mengenang kehadiranmu yang semu…
***
Laki-laki berambut kecokelatan itu merapatkan jaket tebal yang ia
kenakan sambil melihat butiran-butiran salju yang turun perlahan. Syal merah
yang melingkari leher laki-laki itu setidaknya dapat sedikit menghangatkan
tubuhnya. Sejenak ia mencoba untuk menghangatkan diri. Ia menyatukan kedua
telapak tangannya yang terlapisi sarung tangan hitam dengan erat dan
menggosokkan keduanya dengan cepat. Sepertinya musim dingin tahun ini akan jauh
lebih dingin, pikirnya seraya menggosokkan tangannya lebih cepat.
Laki-laki itu menengadahkan wajahnya ke langit. Merasakan
butiran-butiran putih halus yang membelai wajahnya. Ia tersenyum. Laki-laki itu
sangat menyukai musim dingin. Baginya, musim dingin selalu terlihat indah.
Berbanding terbalik dengan
seorang gadis yang berada di dekatnya. Berkali-kali ia sibuk menghangatkan
dirinya dari terpaan udara dingin yang menusuk tulang.
“Ternyata salju memang dingin. Inilah yang membuatku membenci
musim dingin. Aku heran padamu yang begitu menyukai musim dingin, Luhan-ah”
runtuknya. Bibirnya memucat dan nafasnya agak tersengal karena udara dingin
yang membuatnya kesulitan untuk bernafas.
Laki-laki yang dipanggil ‘Luhan’ itu tersenyum penuh makna. Ia
menoleh ke arah gadis bercoat merah
di sampingnya yang mulai menggigil, “Justru aku yang heran padamu karena kau
begitu membenci musim dingin, Jieun-ah” balasnya tak mau kalah.
“Terserah apa katamu. Lagipula untuk apa kau mengajakku keluar
saat salju turun seperti ini? Sudah tahu aku paling malas jika harus berhadapan
dengan udara yang menusuk tulang”
“Kau kedinginan, huh?”
“Kau masih bertanya apakah aku kedinginan? Tentu saja aku
kedinginan, Xi Luhan”
Laki-laki itu, Luhan, hanya bisa tertawa kecil menanggapi kelakuan
sahabat masa kecilnya itu. Dengan segera, ia melepas sebelah sarung tangannya
dan memakaikannya ke tangan kanan Jieun.
“Ini salahmu kenapa tidak memakai sarung tangan. Tanganmu? Ambil
milikku.”
Jieun tersentak saat Luhan yang tiba-tiba saja memakaikan sarung
tangan miliknya itu ke tangannya. Wajah gadis itu memerah, entah karena
kedinginan atau ada faktor lain. Gadis itu tersenyum, setidaknya ia sudah
merasa lebih hangat sekarang. Setidaknya ada hal kecil yang membuat Jieun sedikit
mulai menyukai musim dingin.
***
Salju.
Butiran-butiran dingin berwarna putih nan lembut itu sedang
berjatuhan perlahan. Tidak terlalu deras memang. Hanya meninggalkan sedikit
jejak di beranda apartemen Jieun yang saat ini sedang memandangi salju itu
dengan mata sabit miliknya sambil menikmati secangkir vanilla latte kesukaannya.
Entah kenapa, semakin diperhatikan, yang gadis itu ingat
hanyalah boneka salju yang sering ia buat bersama Luhan dulu.
Ya, Luhan.
Sudah sejauh ini, sudah entah berapa lama waktu yang terlalui,
namun kenapa nama itu tetap begitu susah untuk dilupakan ? Ada alasan sederhana
di balik pertanyaan yang selalu menghinggapi dan menghantui kehidupan gadis
itu. Karena hatinya tahu, begitu pula dengan pikirannya dan juga seluruh bagian
yang ada di tubuhnya, bahwa dirinya -Ahn Jieun- tidak pernah memiliki
sedikitpun niat untuk melupakan laki-laki itu.
Gadis itu hanya ingin lari. Lari dari kenyataan yang kini tengah
memburunya. Meski ia mengerti dan sangat memahami bahwa sejauh apapun ia
menjauh dan mencoba bersembunyi, kenyataan itu akan selalu menemukan dirinya.
Akan selalu berdiri tegak, melintang di antara dirinya dan Luhan. Diam, tak
tergoyahkan dan takkan mampu untuk dihindari.
Tidak pernah. Dan tidak akan pernah.
***
“Ya!” Jieun melemparkan tatapan sebal, tepat ketika ia membuka
pintu rumahnya dan mendapati siapa yang sedang berdiri di depannya, “Apa yang
kau lakukan disini? Aku sedang sibuk”
“Eumh…”
ucap sosok yang masih berdiri kokoh di depan pintu kediaman gadis itu.
“Eumh?”
Jieun mengulang perkataan laki-laki itu, atau lebih tepatnya memotong
pembicaraan laki-laki itu.
“Anu…” sambung laki-laki itu gugup.
“Anu?”
“Err…”
“YA. XI LUHAN!! Kalau tidak ada hal yang penting untuk kau katakan
padaku, lebih baik sekarang kau pergi. Aku sedang sibuk dengan tugasku yang
menumpuk” Jieun mulai geram. Laki-laki yang berada di hadapannya itu kini
benar-benar sedang menguji kesabarannya. Gadis itu melipat kedua tangannya di
depan dada. Ia menatap Luhan tajam. Seolah menunggu kata-kata selanjutnya yang
akan keluar dari mulut Luhan. Sedangkan yang ditatap, hanya menyunggingkan
seulas senyum tipis.
CHU~~
Jieun mengerjap kaget, saat tiba-tiba saja Luhan mencium pipinya.
Sementara Luhan hanya menampakan cengiran tanpa dosanya, “Aku hanya ingin
mengundangmu makan malam bersama keluargaku. Aku akan menjemputmu pukul tujuh
nanti. Dan ingat, kau harus kelihatan cantik di depan kedua orang tuaku. Arra?”
Dan tanpa membiarkan Jieun untuk bereaksi, Luhan segera berlari
kecil menuju mobilnya yang terpakir di halaman rumah. Sedangkan Jieun, ia hanya
mengerjap-ngerjapkan matanya. Mengembalikan kesadaran yang hilang beberapa saat
yang lalu. Tanpa ia sadari, tangannya terulur memegang pipinya. Meski hanya
sekilas, tapi kecupan tiba-tiba Luhan tadi masih dapat ia rasakan dengan jelas.
Seulas senyuman kecil tersunging di bibirnya.
“Sepertinya musim dingin tak seburuk yang kukira” gumamnya.
***
Gadis itu tersenyum pahit saat kenangan itu kembali berputar di
dalam memorinya. Kenangan yang paling ingin ia hapuskan, namun paling tidak
bisa ia lupakan meski ia sangat ingin melupakan. Kepingan-kepingan kisah masa
lalu itu masih ada. Terus mengikutinya, seolah tak rela ia terlepas dari
jeratan kisah itu.
Vanilla latte hangat
yang berada di tangannya mendingin termakan waktu. Gadis itu sama sekali tak
ada niatan untuk menghabiskan minuman yang biasanya menjadi minuman
kesukaannya. Baginya, latte itu mungkin akan jadi terasa pahit
jika ia meminumnya lagi.
Ahn Jieun, ia kembali memandangi butiran-butiran salju itu dari
jendela apartemennya. Ia menengok keluar sejenak. Sejauh mata memandang, hanya
hamparan putih yang ia lihat. Salju itu telah menutupi, menimbun apa yang
ada di luar sekarang. Gadis itu kembali tersenyum. Senyuman yang tak kalah
pahit dari rasa latte di
tangannya. Salju itu, bisakah salju itu menimbun semua kenangannya juga?
Lama berkutat dengan pikirannya, Jieun kemudian beranjak dari
tempatnya. Ia memakai coat merahnya yang tergantung di
lemari pakaian. Tak lupa ia melilitkan sebuat syal di lehernya. Meski agak
ragu, tapi gadis itu memutuskan untuk keluar sebentar. Butir-butir salju itu
langsung menyambutnya tepat saat ia keluar dari apartemennya. Jieun
menengadahkan wajahnya, mencoba merasakan butir-butir salju yang mengenai
wajahnya dengan lembut. Ia ingat, Luhan sangat menyukai saat dimana salju itu
membelai wajah laki-laki itu.
Luhan… nama itu. Nama yang entah sejak kapan ingin ia hapus dari
hatinya. Nama yang sampai saat ini selalu membuat hatinya sakit tak berperi.
“Bisakah aku menghentikan semua ini?” bisiknya pada dirinya
sendiri.
***
Jieun terus menerus meruntuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia
sebodoh ini untuk keluar apartemen di saat salju sedang turun. Ia benci musim
dingin – satu hal itulah yang selalu ia ingat. Tapi, kenapa kini ia malah
terjebak dalam udara dingin ini?
Sudah satu jam lebih gadis itu berkeliling di sekitar
apartemennya, satu jam pula ia berperang dengan udara yang menusuk tulang.
Jieun menepuk-nepukkan coat merahnya, berusaha menyingkirkan
salju yang menempel di sana.
Langkah gadis itu terhenti. Tubuhnya menegang saat ia sudah
sampai di depan apartemen. Kedua bola matanya menangkap sosok yang tengah
berdiri di dekat apartemennya. Sosok itu.. seseorang dengan mata almond
tipisnya. Seseorang dengan bibir merahnya yang kini agak memucat karena dingin.
Seseorang dengan rambut cokelat terangnya. Seseorang yang kini telah
menengadahkan wajahnya ke langit, merasakan setiap butir salju yang mengenai
wajahnya. Seseorang yang selama ini Jieun rindukan. Xi Luhan.
“Jieun-ah” sosok itu rupanya menyadari kehadiran gadis itu.
Luhan melambaikan sebelah tangannya, meski diam-diam yang paling
laki-laki itu inginkan adalah segera memeluk gadis di depannya ini. Sosok yang
menjadi alasan berjuta kata rindu yang memenuhi benak laki-laki itu juga.
“Lu…han..”
“Hey, kau pasti terkejut melihatku di sini. Kau pasti
merindukanku kan?”
“Luhan-ah”
“Haha.. sudahlah. Lebih baik sekarang kau buka pintu
apartemenmu. Kau takkan membiarkan kita mati kedinginan di sini kan?”
Luhan mendorong tubuh Jieun pelan. Apa yang ia lakukan itu
secara tak sadar menimbulkan getaran yang sama di hati keduanya. Getaran yang
sejak dulu begitu Jieun takutkan dan Luhan coba ingkari. Getaran yang rasanya
begitu manis dan juga pahit di saat yang bersamaan.
Bittersweet.
“Aku hanya di sini sampai besok” serak, bisik suara Luhan.
Membiarkan hening yang ada menguap sebentar bersama dingin yang tiba-tiba
terasa memeluk hingga ke tulang.
“Besok?”
Luhan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Rasanya aneh,
entah mengapa ia tak suka dalam situasi seperti ini. Luhan menyeruput sedikit
cokelat hangat yang Jieun buatkan untuknya.
“Hm.. cokelat buatanmu memang selalu enak”
“Itu karena aku selalu membuatnya dengan penuh perasaan” ujar
Jieun pelan yang diiringi dengan senyuman kecil dari laki-laki di hadapannya.
“Baiklah, aku sudah di sini. Apa kau tidak mau melepas rindumu
padaku?” goda Luhan.
“Shut up! Kau datang ke sini hanya untuk
menggodaku seperti itu, hah?”
Luhan terkekeh kecil. Ia selalu suka ketika ada raut kekesalan
di wajah cantik itu. Rasanya indah, kenikmatan yang hanya menjadi miliknya.
“Itu salah satu alasanku ke sini. Tapi…aku hanya ingin
memastikan kalau kau baik-baik saja”
Sial! Jieun benar-benar ingin mengutuk manusia di depannya ini.
Karena sekarang ia yakin seratus persen bahwa wajahnya sudah memerah. Mungkin
sudah semerah hatinya. Hati yang menyimpan semua. Semua yang tak pernah menjadi
rahasia. Semua yang ada namun tak pernah menjadi nyata.
Jieun memilih untuk hening dan…membencinya. Membenci tentang
waktu yang tak pernah ingin berbaik hati padanya. Waktu yang selalu saja
memberi bagian dari setiap detik detik yang ada untuk sebuah ruang baginya dan
Luhan.
“Besok aku akan kembali jam sepuluh pagi. Waktu kita terbatas,
Jieun-ah. Aku mohon…” tangan yang terasa begitu hangat itu menarik pergelangan
tangan Jieun. Membuatnya tak lagi bisa memandang ke segala arah, membuatnya mau
tak mau harus menatap Luhan. “…kali ini, satu kali ini saja. Untuk yang
terakhir, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu”
“Baiklah. Aku akan menemanimu”
Mata Luhan tersenyum, pancaran kebahagiaan itu jelas ada di
sana.
“Gomawo, Jieun-ah” bisiknya, sebelum bibir merah itu mendarat di
kening Jieun dengan lembut.
***
Tanpa harus kukatakan,
Harusnya kau mengerti apa yang seharusnya kau mengerti
Tanpa harus kuungkapkan, harusnya kau sadar apa yang sepantasnya
kau sadari
Dan tanpa kata-kata, harusnya kau paham apa yang sepatutnya kau
pahami…
***
Rasanya nyaman, lebih nyaman bila dibandingkan dengan secangkir
cokelat hangat yang mereka nikmati beberapa waktu lalu. Dalam genggaman tangan
Luhan yang berbalut sarung tangan berwarna biru – warna kesukaan Jieun, tangan
Jieun menjadi bagian tubuhnya yang paling merasakan kehangatan itu. Mereka
hanya berjalan dalam kehangatan yang dingin.
Lampu warna-warni tergantung ceria di setiap toko yang mereka
lewati. Lagu-lagu mengalun dalam dentingan nada syahdu. Membuat setiap pejalan
kaki yang melintasinya mau tak mau berdecak kagum karena keindahannya.
“Sudah lama kita tidak pergi berdua seperti ini” ucap Luhan pada
gadis di sampingnya.
Gadis bercoat merah itu hanya mengangguk
tanpa mau mengalihkan matanya dari jalan. Ia takut, ia sangat takut jika
matanya menatap laki-laki yang tengah menggenggam tangannya itu, maka rasa aneh
itu akan mengusiknya kembali. Mengelitik hatinya untuk tetap menahan Luhan
berada di sampingnya.
“Apa kau bahagia, Jieun-ah?”
“Aku? Tentu saja, bisa pergi denganmu seperti ini, hanya berdua,
merupakan hal yang paling aku rindukan. Kau sendiri?”
“Aku…entahlah. Tapi, aku tidak merasakan kebahagiaan itu”
Kata-kata yang terucap dari bibir merah Luhan yang mulai membiru
akibat cuaca yang semakin dingin itu, mau tak mau membuat Jieun menghentikan
langkahnya. Kata-kata itu baginya terasa begitu menyakitkan. Namun seolah tak
peduli, Luhan terus berjalan dan terus menarik tangan gadis itu.
“Jangan berhenti. Aku membutuhkanmu di sampingku. Bukan di
belakang ataupun di depanku” ujar Luhan lagi, meski sorot matanya tak sekalipun
menoleh ke arah Jieun.
“Mengapa kau tak bahagia? bukankah kau harusnya bahagia sekarang?”
“Aku ingin bahagia, tapi entah mengapa aku tak bisa. Mungkin
kebahagiaan itu sudah tak lagi bersamaku”
Lagi-lagi Jieun menghentikan langkahnya, “Kenapa kau bicara
seperti itu, Luhan-ah? Berbahagialah, karena kebahagianmu adalah nyawa bagiku…”
Kali ini Luhan ikut berhenti, “Kau mau aku berbohong dengan
mengatakan kalau saat ini aku sangat bahagia? Kau mau aku bahagia saat aku
tidak bisa bersama orang yang kucintai, hah?”
“Aku tahu. Ini memang sangat menyiksa. Tapi sekarang kau sudah
ada yang memiliki. Dan aku tahu kau juga mencintainya. Kau tak bisa membagi
hatimu, Luhan-ah”
“Ahn Jieun”
“Asal kau tahu, aku ingin sekali mengikuti egoku untuk
memilikimu. Tapi, aku tak bisa” suara Jieun terdengar parau. Entah karena udara
dingin atau ada hal lain yang membuatnya seperti itu.
“Suaramu bergetar, bodoh” ujar Luhan, bersamaan dengan tangannya
yang menarik tubuh Jieun dalam dekapan. Bersamaan dengan tetes air mata yang
jatuh begitu saja.
Cinta itu tersentuh,
namun tak dapat tinggal.
Terbalas, namun tak bisa
untuk saling memiliki.
Di bawah salju yang terus turun, Jieun menangis untuk semua
akhir cerita yang mereka ketahui meski cerita itu sendiri tak pernah dimulai.
“Jadi, kau lebih memilih untuk mencintainya?”
Bukannya menjawab, Luhan memilih untuk mengeratkan pelukannya.
“Aku tak bilang seperti itu”
Luhan melepas pelukannya. Ia lalu menatap kedua bola mata yang
tengah menatapnya penuh pengharapan. Ia mendekatkan wajahnya pada gadis itu.
Mengecup bibir mungilnya sekilas. Ia memberikan ciuman pertamanya untuk Jieun.
Membiarkan hatinya jatuh untuk yang terakhir kali pada gadis itu.
“Aku tahu, harusnya aku mengucapkan ini sejak dulu padamu,
Jieun-ah. Tapi, aku tak pernah berani untuk mengatakannya padamu.. Saranghae,
terima kasih karena kau pernah mengisi hatiku”
Dan saat ini, sesuatu yang harusnya ia selesaikan sejak beberapa
tahun yang lalu, akhirnya terucapkan dan menimbulkan kerusakan parah pada
hatinya.
“Aku tak pernah menyesal karena pernah mencintaimu, Ahn Jieun”
bisik Luhan. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya dan
memberikannya pada Jieun.
“Aku harap kau bisa datang” ujarnya.
Sedetik kemudian, laki-laki itu berbalik dan mulai berjalan
meninggalkan Jieun yang kini tengah menatapnya sendu. Pandangannya kini
teralihkan pada sebuahsurat undangan yang Luhan berikan padanya tadi. Entah
mengapa perasaannya tidak enak dengan kertas putih itu.
Detak jantungnya semakin berpacu cepat dan menyakitinya kembali.
Air mata itu tumpah saat ia melihat sebuah nama yang tertera di undangan tersebut.
Terukir nama Luhan di sana. Dengan seorang gadis yang ia ketahui bukanlah
dirinya.
Jieun mencengkram kuat-kuat undangan itu. Rupanya, Luhan sudah
benar-benar mencintai gadis lain. Kenyataan itu kembali merobek hatinya. Lalu,
untuk apa penantiannya selama ini? Jieun, gadis itu selama ini hanya membiarkan
hatinya membeku untuk menunggu seseorang yang kini tengah berusaha
melupakannya. Menghapus segala kenangan yang pernah mereka buat dulu.
Dan kini, hanya perpisahan yang ia temui. Perpisahan yang membuka
pintu lebar-lebar bagi Jieun. Mempersilahkan dirinya untuk menemui rasa pedih
yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan. Menjumpai serpihan hati yang terasa
menusuki setiap jengkal tubuh gadis itu.
***
Adakalanya kenyataan itu tidak sejalan dengan apa yang kita
inginkan
Bahkan terkadang jauh lebih menyakitkan dari apa yang kita
bayangkan
Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih kehidupan semu
dibandingkan dengan hidup di dunia nyata..
Karena kenyataan itu telah menghempaskan diriku pada jurang terdalam
kepedihan…
***
Seoul, 2014
Dari kursinya yang terletak di deretan paling belakang, Jieun
memandang lurus ke arah satu titik yang sekian lama ini begitu ia rindukan.
Nyalinya menciut seiring dengan rasa bersalah yang memeluknya erat.
Di sana – di sebuah altar – Luhan tampak begitu tampan dengan
tuxedo putih yang membalut tubuh laki-laki itu. Ia hanya memandang Luhan, hanya
Luhan –bahkan ia tak mau repot hanya untuk sekedar melirik siapa wanita yang
kini tengah bersanding dengan Luhan di sana.
Jieun hanya bisa memejamkan matanya ketika akhirnya terdapat
cincin yang tersemat di jari manis satu-satunya laki-laki yang pernah ia cintai
dan akan selalu ia cintai. Dan ketika para undangan lain memberi ucapan kepada
pasangan pengantin baru itu, Jieun memilih untuk berbalik dan pergi.
Sebutir salju putih jatuh di depan wajahnya, tepat ketika gadis
itu menjejakkan kakinya di luar gereja. Gadis itu mengeratkan syal cokelat yang
ia kenakan. Sebuah senyuman pahit terpeta di bibirnya.
“Inilah yang membuatku semakin membenci musim dingin” desisnya
pada angin malam itu.
***
Hingga pada akhirnya aku menyadari
Cinta itu hadir namun tak tersentuh
Cinta itu nyata, namun tak pernah tersadari akan keberadaannya…
Namun aku yakin, cinta ini akan tetap bertahan
Meski sampai akhir kau berusaha menghancurkannya,
Cinta ini, akan terus ada di hatiku selama aku masih bisa
bernafas…
Aku takkan membiarkan waktu mencoba untuk mengikisnya
Walaupun pada akhirnya,
ini semua hanya akan berujung pada penantian yang sia-sia
Namun, kau harus tahu bahwa aku akan mencintaimu
dan… akan terus mencintaimu, aku
janji akan hal itu…
END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar